ISLAM DAN EMANSIPASI WANITA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Islam
sebagai agama yang benar di sisi Allah telah menghapus diskriminasi kedudukan
antara wanita dan laki-laki. Islam memandang semua makhluk Allah yang memiliki
akal sehat, baik laki-laki maupun perempuan memilki amanah sebagai hamba Allah
dan khalifah Allah, yang harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya dan kelak
dimintai pertanggungjawaban oleh Allah, SWT.
Agama
Islam sangat memuliakan kedudukan wanita, meberikan posisi dan citra yang bagus
terhadap wanita sebagaimana yang tertuang dalam firman Allah SWT “ Hai orang-orang yang beriman, tidak halal
bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan jaganlah kamu menyusahkan
mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata,
dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan kepadanya kebaikan yang banyak.” (QS. Al-Nisa’ : 19).
Keberadaan
kaum wanita shalihah dalam kehidupan sangat berarti, sebagai nenek, ibu,
isteri, saudara perempuan, anak dan cucu. Karena hanya dari cerminan perilaku
yang baik yang ditampilkan oleh wanita shalehah akan berimbas pada kemaslahatan
sebuah masyarakat, maka Allah SWT senantiasa menyeru kepada semua kaumnya
(laki-laki dan perempuan) agar senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan dan
juga ber-amar ma’ruf nahi munkar atau
menyeru pada kebaikan dan menjauhi kemunkaran.
1.2 Rumusan
Masalah
Seperti yang telah di uraikan dalam latar belakang
masalah maka apa saja yang perlu dibahas dalam konteks islam dan emansipasi
wanita :
1. apa
pengertian dari emansipasi wanita dalam Islam ?
2. apa saja
hak-hak wanita ?
3. Bagaimana
pandangan islam tantang wanita karier ?
1.3 Tujuan
Sebagai
bab yang mempelajari tentang islam dan emansipasi wanita tentu banyak pro dan
kontra tentang apa yang akan disampaikan. Oleh karena itu, kami akan
mengungkapkan tentang apa itu emansipasi wanita dan bagaimana pandangan islam
tentang emansipasi wanita. Emansipasi wanita akan di pelajari disini.
Kami
tidak hanya menjelaskan tentang arti emansipasi saja. Tetapi kami lebih fokus
kepada hak-hak wanita, kedudukan wanita dalam islam dan wanita karier dalam
islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian emansipasi wanita dalam islam
Emansipasi
berasal dari bahasa latin “emancipatio” yang
artinya pembebasan dari tangan kekuasaan. Di zaman Romawi dulu, membebaskan
seorang anak yang belum dewasa dari kekuasaan orang tua, sama halnya dengan
mengangkat hak dan derajatnya.
Emansipasi wanita adalah prospek
pelepasan wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah, serta pengekangan
hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan maju. Dalam bahasa Arab,
istilah ini dikenal dengan tahrir
al-marah. Jauh Sebelum mempoklamirkan emansipasi wanita, Islam telah lebih
dahulu mengangkat derajad wanita dari masa pencampakan wanita di era jahiliah
ke masa kemulaian wanita. Semua sama di hadapan Allah, yang membedakan mereka
di hadapan Allah adalah mereka yang paling bertaqwa, taqwa dalam artian
menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangnnya.
Pemahaman emansipasi wanita yang
berkembang saat ini mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM), menyerukan bahwa
emansipasi wanita adalah menyamakan hak dengan kaum pria, padahal tidak semua
hak wanita harus disamakan dengan pria. Mencermati pemahaman tersebut, Penulis
tertarik mengkaji lebih mendalam terkait emansipasi wanita dalam perspektif hukum
islam.
Islam sangat memuliakan wanita.
Al-Qur’an dan Sunnah memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan
yang terhormat kepada wanita, baik sebagai anak, istri, ibu, saudara maupun
peran lainnya. Begitu pentingnya hal tersebut, Allah mewahyukan sebuah surat
dalam Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad yaitu Surat An-Nisa’ yang sebagian besar
ayat dalam surat ini membicarakan persoalan yang berhubungan dengan kedudukan,
peranan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak wanita.
Sesungguhnya Islam menempatkan
wanita di tempat yang sesuai pada tiga bidang :
Pertama, Bidang
Kemanusiaan, Islam mengakui hak wanita sebagai manusia dengan sempurna sama
dengan pria.
Kedua, Bidang
Sosial , terbuka lebar bagi wanita di
segala jenjang pendidikan, di antara mereka menempati jabatan-jabatan penting
dan terhormat dalam masyarakat sesuai dengan tingkatan usianya, masa
kanak-kanak sampai usia lanjut. Bahkan semakin bertambah usianya, semakin
bertambah pula hak-hak wanita, usia kanak-kanak; kemudian sebagai seorang isteri,
sampai menjadi seorang ibu yang menginjak lanjut usia (lansia), yang lebih
membutuhkan cinta, kasih dan penghormatan.
Ketiga, Bidang
Hukum, Islam memberikan pada wanita hak memiliki harta dengan sempurna dalam
mempergunakannya tatkala sudah mencapai usia dewasa dan tidak ada seorang pun
yang berkuasa atasnya baik ayah, suami, atau kepala keluarga.
Dalam Islam dijelaskan bahwa tidak ada
perbedaan di antara manusia, baik laki-laki atau wanita yang mebedakan terletak
pada kualitas keimanan dan ketaqwaan sebagaiman firman Allah dalam surat
al-Hujurat: 13
Artinya :
“ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahuin lagi Maha Mengenal”.
Kedudukan
wanita dalam islam sama-sama mulia dengan laki-laki di hadapan Allah SWT,
artnya posisi mereka seimbang sebagaiman firman Allah SWT:
Artinya:
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai
satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. (QS. Al-Baqarah : 228).
Al-Qur’an
sebagai sumber hukum utama dalam ajaran Islam secara tegas menyatakan bahwa
keberadaan wanita dan laki-laki sejajar, jika ada tanggapan “rendah” terhadap
kedudukan wanita dalam Islam maka tanggapan tersebut sangat bertentangan dengan
Al-Qur’an. Islam menghargai keberadaan wanita sebagaiman keberadaan laki-laki
pada semua aspek kehidupan untuk senantiasa ber-amar ma’ruf nahi munkar atau menyeru pada kebaikan dan menjauhi
kemunkaran, kecuali beberapa hal yang secara khusus berlaku bagi laki-laki
maupun wanita. Sebagaiman ayat berikut:
Artinya:
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan
yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan permpuan yang
tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan
perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan
perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan
perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak
menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala
yang besar. (QS.Al-Ahzab:35)
2.2 Sejarah emansipasi wanita
Emansipasi wanita sendiri pertama
kali terjadi di latarbelakangi pemberontakan kaum wanita di Perancis pada
tanggal 6 Oktober 1789 di depan Gedung Balai Kota Paris. Penyebabnya, para
wanita disana diperlakukan tidak adil, dihinakan, bagai seonggok tubuh yang
tidak berguna. Tokoh pemberontakan tersebut Marie Olympe-de Gouge, dihukum
penggal. Setelah aksi tersebut, banyak bermunculan organisasi kewanitaan,
gerakan emansipasi pun menyebar ke Inggris, Jerman, dan belahan Eropa lainnya,
otomatis gerakan emansipasi pun mendunia.
Gerakan emansipasi ini memicu
gebrakan Wollstonecraft, tokoh-tokohnya ialah Clara Zetkin (1857-1933) di
Jerman. Hẻlẻne Brion (1882-1962) di Perancis, ia menulis selebaran La voie
feministe dengan judulnya yang terkenal, “Femme : ose ệtre! (Hai perempuan,
beranilah jadi diri sendiri !). Anna Kuliscioff (1854-1925) di Italy, seorang
pendiri liga wanita dan jurnal La Difesa delle Lavoratrici Carmen de Burgos
alias ‘Colombine’. Kemudian Victoria Claflin Woodhull (1938-1927), wanita
pertama yang mencalonkan diri sebagai Presiden pada 1872.
R.A. kartini dan R.Dewi Sartika
merupakan pelopor dalam mendobrak keterbelengguan peribumi oleh penjajah
merupakan gerakan yang luar biasa bagi wanita Indonesia saat itu. Ini seperti
perang dengan cara moderat tanpa adu kekuatan fisik, akan tapi adu otak, adu
harga diri. Hingga memancing kebangkitan harga diri pribumi yang kita anggap
sebagai zaman Kebangkitan Nasional.
Dengan kata lain emansipasi wanita
menurut konsep Kartini merupakan perjuangan kaum wanita demi memperoleh hak
memilih dan menentukan nasib sendiri. Sampai kini, mayoritas wanita Indonesia,
terutama di daerah pedesaan dan sektor informal belum menyadari makna dari
emansipasi wanita itu sendiri, akibat secara normatif terbelenggu persepsi
etika, moral, dan hukum genderisme, serta lingkungan dan budaya. Belenggu
budaya itulah yang harus didobrak gerakan perjuangan emansipasi wanita demi
memperoleh hak asasi untuk memilih dan menentukan nasib sendiri.
Jika Indonesia memiliki R.A Kartini
dan R. Dewi Sartika, maka jika kita flash back pada zaman Penyebaran Islam,
maka kita juga akan menjumpai wanita-wanita tercatat dalam sejarah tak kalah
tangguhnya. Khadijah binti Khuwailid, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti
Umar, Juwairiah binti Harits bin Abu Dhirar, Maimunah binti Harits, Ummu
Salamah, Zainab binti Jahsy, Fatimah binti Muhammad, Ummi Kultsum binti
Muhammad, Zainab binti Muhammad, dan banyak lagi pejuang wanita Islam lainnya.
Merekalah yang telah memberikan suri
tauladan yang sangat mulia untuk keberlangsungan emansipasi wanita, tidak hanya
hak saja yang mereka minta akan tetapi kewajiban sebagai seorang wanita, istri,
anak atau sahabat. Sudah jelas tergambar dalam pandangan Islam wanita
yang baik adalah wanita yang seoptimal mungkin memaksimalkan potensi diri
menurut konsep al-qur’an dan assunnah.
Ialah wanita yang mampu menyelaraskan fungsi, hak dan kewajibannya
sebagai seorang hamba Allah (Surah At-Taubah71), seorang istri ( surah An-Nisa
34), seorang ibu ( surah Al-Baqoroh 233 ), warga masyarakat (surah Al-furqan
33), da’iyah (surah Ali Imran104 -110).
2.3
Hak-hak wanita dalam islam
Wanita
muslimah secara umum memiliki pengaruh yang besar terhadap komunitas
masyarakat. Apabila wanita dalam kondisi baik maka masyarakat atau bangsa dan
negara akan menjadi baik. Sebaliknya apabila mereka benar-benar rusak maka
masyarakat pun akan rusak.
Mengingat imbas dari perilaku kaum
wanita terhadap kemaslahatan bersama maka sebagai wanita muslimah harus
memahami agama, hukum dan syari’at Allah SWT secara kaffah/ menyeluruh. Sebagai contoh, wanita harus memahami hak dan
kewajiban atas dirinya sendiri kemudian mampu mengaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Secara umum surat An-Nisa ayat 32 menjelaskan hak-hak wanita:
Artinya:
(karena)
bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi
Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan.
Hak wanita
sebagai individu dibagi menjadi dua yaitu:
1. Hak Thabi’i,
adalah hak manusia yang berlaku fitrahnya, menurut asal kejadiannya, bahwa
keadaan itu adalah menjadi hak manusia, seperti hak hidup dan hak merdeka,
2. Hak yang diberikan oleh Undang-Undang atau
peraturan, yaitu hak yang dijamin berdasarkan peraturan yang dibuat oleh
manusia. bersifat politis karena terserah kepada siapa yang berkuasa membuat
Undang-Undang. (Yanggo, 2010).
Ajaran Islam mengakui hak-hak wanita dan
menempatkannya di beberapa bidang, yaitu:
1. Bidang kemanusiaan, Islam mengakui haknya sebagi
manusia dengan sempurna sama dengan pria. Umat yang lampau mengingkari permasalahan
ini,
2. Bidang sosial, telah terbuka lebar bagi mereka di
segala jenjang pendidikan, di antara mereka menempati jabatan-jabatan penting
dan terhormat dalam masyarakat sesuai dengan tingkatan usianya, masa
kanak-kanak sampai usia lanjut. Bahkan semakin bertambah usianya, semakin
bertambah pula hak-hak mereka, usia kanak-kanak; kemudian sebagai seorang
isteri, smapai menjadi seorang ibu dan menginjak lansia, yang lebih membutuhkan
cinta, kasih dan penghormatan,
3. Bidang hukum, Islam memberikan pada wanita hak
memilki harta dengan sempurna dalam mempergunakannya tatkala sudah mencapai
usia dewasa dan tidak ada seorang pun yang berkuasa atasnya baik ayah, suami,
atau kepala keluarga (Hasyim, 2008).
Sedangkan
menurut Quraish Shihab (2007), menyatakan bahwa:
1. Kaum wanita mempunyai hak untuk bekerja, selama
norma-norma agamadan etika tetap terpelihara dalam diri masing-masing individu.
2. Kaum wanita memilki hak dan kewajiban untuk menuntut
ilmu, sebagimana hadits Nabi Saw: “
Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim(dan Muslimat)” . (HR.
Al-Thabarani)
3. Kaum wanita juga memiliki hak untuk berkiprah dalam
dunia politik. Seperti memberikan pendapat saat bermusyawarah untuk
menyelesaikan permasalahan umat. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Syura
ayat 38, menyeru semua umatnya (Laki-laki dan wanita) agar bermusyawarah.
Artinya:
Urusan
mereka (diputuskan) dengan musyawarat anatara mereka
Sejarah Islam menunjukkan banyak
wanita Islam yang terlibat pada persoalan politik praktis, seperti Aisyah
(istri Nabi Muhammad saw) pernah memimpin langsung sebuah peperangan. Ummu
Hani’ pernah memberikan jaminan keamanan kepada sebagian orang musyrik. Memberi
jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik.
2.4 Kedudukan wanita dalam islam
Secara lebih rinci, Penulis akan
menjelaskan mengenai hukum islam yang mengatur tentang emansipasi wanita yang
konon diartikan sebagai tuntutan persamaan gender dengan pria. Adapun
dalil-dalilnya adalah sebagai berikut.
1. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam pandangan Allah
Kedudukan
wanita yang sama dengan pria dalam pandangan Allah dapat ditilik dalam QS.
Al-Ahzab : 35, “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan
perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya,
laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’,
laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa,
laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan
yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan kepada mereka
ampunan dan pahala yang besar”.
Orang muslim
yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang yang mengikuti perintah dan
menjauhi larangan pada lahirnya, sedangkan yang dimaksud orang mukmin adalah
orang-orang yang membenarkan apa yang harus dibenarkan oleh hatinya.
Berdasarkan dalil ini, islam menjelaskan bahwa kedudukan antara wanita dan pria
adalah sama, yang membedakan adalah iman dan ketakwaannya.
2. Kedudukan
wanita sama dengan pria dalam berusaha untuk memperoleh, memiliki, menyerahkan
atau membelanjakan harta kekayaannya
Berkenaan
dengan kedudukan tersebut maka dalil dalam Islam dapat dirujuk dalam QS.
An-Nisa : 4, “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebahagian maskawin itu dengan senang hati, makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.
Pemberian
itu adalah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua
pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas. Selain dalil
tersebut, kedudukan wanita dan pria dalam berusaha memperoleh, memiliki,
menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaan dapat dilihat dalam QS. An-Nisa’
: 32, “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi laki-laki
ada bahagian yang mereka usahakan, dan bagi para (wanita) pun ada bahagian dari
apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari
karuniaNya.Sesungguhnya Allah Maha MEngetahui segala sesuatu”.
3. Kedudukan
wanita sama dengan pria untuk menjadi ahli waris dan memperoleh warisan, sesuai
pembagian yang ditentukan.
Kedudukan
wanita dan pria terkait dengan warisan dapat dirujuk dalam QS An-Nisa’ : 7,
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya,
dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.
Islam merupakan agama yang kaffah,pengaturan
terkait kedudukan pria dan wanita rinci diatur di dalamnya, salah satunya
mengenai pembagian warisan.
4. Hak dan
kewajiban wanita dan pria, dalam hal tertentu sama dapat dilihat dalam QS
Al-Baqarah : 228 dan At-Taubah:71) dan dalam hal lain berbeda karena kodrat
mereka yang sama dan berbeda pula (QS An-Nisa : 11 QS An-Nisa : 43). Kodratnya
yang menimbulkan peran dan tanggung jawab antara pria dan wanita, maka dalam
kehidupan sehari-hari, misalnya sebagai suami isteri, fungsi mereka pun
berbeda. Suami (pria) menjadi penanggungjawab dan kepala keluarga, sementara
isteri (wanita) menjadi penanggungjawab dan kepala rumahtangga.
Berdasarkan dalil-dalil yang telah Penulis kemukakan,
maka dapat diketahui bahwa islam sangat menjunjung harkat wanita bahkan
melindungi dari hal yang paling sederhana hingga yang lebih kompleks.
2.5 Wanita
karier dalam islam
Peran wanita dalam kehidupan cukup luas meliputi
berbagai bidang, seperti bidang agama, pendidikan, sosial, budaya, politik,
hukum dan keamanan. Wanita adalah manusia sebagaimana laki-laki, manusia hidup
dengan tabiatnya; berfikir dan bekerja. Dalam kiprahnya wanita harus bisa
menselaraskan dengan ajaran agama Islam, aqidah yang diimani, akhlak dan
masalah yang tidak bertentangan dari syari’at Islam.
Wanita muslimah mempunyai kewajiban
untuk memperkuat hubungannya dengan Allah SWT. Senantiasa menyucikan fikiran,
menjalankan secara keseluruhan mengenai akhlak dan perilakunya, sesuai dengan
yang dikehendaki oleh Islam.
Pada dasarnya wanita muslimah yang
sudah berkeluarga diperbolehkan bekerja di luar rumah asalkan tidak melalaikan
tugas utama sebagai istri sekaligus ibu bagi anak-anaknya, untuk membentuk
keluarga bahagia yang penuh ketentraman, kasih sayang, dan tanggung jawab.
Menurut Sa’dawi (2009) jika wanita
muslimah diperbolehkan berkarir, maka haruslah dengan beberapa syarat dan
ketentuan sebagai berikut :
1. Pekerjaan tersebut memang disyari’atkan dalam Islam,
bukan pekerjaan haram atau membawa kepada perkara yang diharamkan dalam Islam.
2. Menjaga adab wanita muslimah saat bekerja di luar
rumah. Menjaga cara berpakaian, berjalan, berbicara, dan beraktivitas.
Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nur ayat 31:
“ katakanlah
kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka,
atau ayah mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka,
atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki
mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam,
atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Dan firman Allah
SWT dalam surat Al-Ahzab:32
Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah
seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam
berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan
ucapkanlah Perkataan yang baik.
3. Pekerjaan tersebut
tidak sampai melupakan kewajiban utamanya, seperti kewajiban mengurus suami dan
anak-anaknya.
Demikian Islam memberikan aturan-aturan
secara tegas terhadap wanita muslimah yang berkiprah di luar rumah, aturan
tersebut bukan membatasi aktivitas wanita namun lebih pada memberikan
perlindungan terhadap wanita dari segala goda’an dan pengaruh budaya yang
negatif sehingga muslimah terjamin keamanannya dalam beraktivitas.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
pemahaman
mengenai emansipasi perempuan harus dilihat dari berbagai aspek. tidak hanya
dilihat dari aspek penuntutan hak saja, tetapi juga harus dilihat dari
pemenuhan kewajiban. Perkembangan zaman mendengungkan emansipasi sebagai
penuntutan hak-hak saja tetapi mengesampingkan kewajiban yang menjadi
konsekuensi dari hak-hak tersebut. Contoh konkritnya, wanita diperbolehkan
berkarier, tetapi juga harus memenuhi kewajibannya seperti tetap memakai
hijabnya dalam bekerja dan mengetahui posisinya di berbagai peran lainnya,
yakni sebagai istri dan sebagai ibu.
Dengan demikian, makna emansipasi
menurut perspektif hukum islam tidak hanya menjabarkan mengenai penuntutan hak
saja akan tetapi juga menjelaskan tentang kewajiban-kewajiban merupakan
konsekuensi dari hak yang bertujuan untuk memuliakan wanita itu sendiri.
3.2 Saran
Kami sebagai penulis ingin memberi
tambahan bahwa emansipasi bukanlah pembebasan diri wanita. Selama ini,
emansipasi lebih cenderung diartikan sebagai persamaan gender yang berimplikasi
pada bentuk kebebasan memilih. Memilih dalam arti demikian disebut-sebut
sebagai bagian dari hak asasi manusia. Misalnya, memilih menjadi wanita karier,
padahal tugas mencari nafkah adalah kewajian seorang suami. Hal tersebut
dianggap sebagai perwujudan bahwa kedudukan wanita dan pria adalah sama. Pada
dasarnya, Islam membolehkannya tetapi ada batasannya dan tentunya tidak
melanggar syari’. Sebagaimana telah tertulis dalam Al-Baqarah : 228, “Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang
ma’ruf.”
Daftar Pustaka
Tim Dosen PAI Unesa.
2011. Pendidikan Agama Islam. Surabaya : Unesa University Press