BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cerpen adalah
karangan pendek yang berbentuk prosa. Dalam cerpen dikisahkan sepenggal
kehidupan tokoh, yang penuh pertikaian, peristiwa yang mengharukan atau
menyenangkan, dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan.
Menurut
kamus, cerita pendek adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif. Cerita pendek
cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi yang
lebih panjang, seperti novelia (dalam pengertian modern) dan novel. Karena
singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra
seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan
dengan fiksi yang lebih panjang.
Sebuah karya sastra yaitu cerpen dapat tercipta karena ada unsur
yang membangunnya. Unsur-unsur yang membangun cerpen seperti unsur yang ada
pada karya sastra umum lainnya. Adapun unsur itu adalah intrinsik dan
ekstrinsik.
Pada makalah ini akan dibahas unsur intrinsik dalam sebuah cerpen
karya Seno Gumira
Ajidarma yang berjudul Clara. Unsur intrinsik yang ingin ditelaah pada
makalah ini adalah unsur latar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang yang telah dipaparkan, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Apa
yang dimaksud dengan cerpen?
2.
Apa
saja unsur intrinsik dalam cerpen?
3.
Bagaimana
hasil analisis unsur intrinsik latar pada cerpen Clara?
C. Tujuan
Adapun tujuan yang
diharapkan penulis dalam makalah ini adalah:
1.
Menjelaskan
pengertian cerpen.
2.
Menjelaskan
unsur intrinsik dalam cerpen.
3.
Menjelaskan
hasil analisis unsur intrinsik latar pada cerpen Clara.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Cerpen
Cerpen adalah
karangan pendek yang berbentuk prosa. Dalam cerpen dipisahkan sepenggal
kehidupan tokoh, yang penuh pertikaian, peristiwa yang mengharukan atau
menyenangkan, dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan.
Menurut
kamus, cerita pendek adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif. Cerita pendek
cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi yang
lebih panjang, seperti novelia (dalam pengertian modern) dan novel. Karena
singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra
seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan
dengan fiksi yang lebih panjang. Ceritanya bisa dalam berbagai jenis.
Cerita pendek apabila diuraikan menurut kata yang membentuknya
berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut : cerita artinya
tuturan yang membentang bagaimana terjadinya suatu hal, sedangkan pendek
berarti kisah pendek (kurang dari 10.000 kata ) yang memberikan kesan
tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam situasi atau
suatu ketika.
Menurut Susanto, cerita pendek adalah cerita yang
panjangnya sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi rangkap
yang terpusat dan lengkap pada dirinya sendiri. Sementara itu, Sumardjo
dan Saini mengatakan bahwa cerita pendek adalah cerita atau parasi ( bukan
analisis argumentatif ) yang fiktif ( tidak benar-benar terjadi
tetapi dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, serta relatif pendek ).
Dari beberapa pendapat di atas dapat dsimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan cerita pendek adalah karangan nasihat yang bersifat fiktif yang
menceritakan suatu peristiwa dalam kehidupan pelakunya yang relatif singkat
tetapi padat.
B. Unsur Intrinsik Cerpen
Unsur
intrinsik cerpen terdiri dari tema, tokoh atau penokohan, alur cerita, latar,
gaya bahasa, sudut pandang dan amanat. Berikut penjelasannya:
1.
Tema
Tema adalah ruh atau nyawa dari setiap karya cerpen itu sendiri.
Tema inilah yang akan menentukan konflik dan menjadi ide dasar pengembangan
dari seluruh isi cerita pendek. Tema memiliki sifat umum dan general. Seperti
contoh; Pendidikan, romansa, persahabatan dan lain-lain.
2.
Tokoh
dan Penokohan
Tokoh dan penokohan adalah dua hal yang berbeda dalam penulisan
cerpen. Tokoh merupakan pemain atau orang-orang yang terlibat di dalam cerita
tersebut. Sedangkan penokohan adalah penentuan watak atau sifat tokoh yang ada
di dalam cerita.
Ada 3 jenis tokoh yang ditampilkan di dalam cerpen, diantaranya:
Antagonis: Tokoh yang biasanya berperan sebagai tokoh jahat. Tokoh
ini akan terlibat konflik dengan sang tokoh utama di dalam cerita. Tokoh
antagonis memiliki watak yang negatif seperti: sombong, angkuh, jahat dan
lain-lain.
Protagonis: Tokoh ini adalah tokoh yang membintangi cerpen tersebut
(tokoh utama) tokoh ini biasanya berprilaku baik.
Tritagonis: Tokoh ini merupakan tokoh pembantu protagonis dan yang
nantinya akan menjadi penengah konflik antara antagonis dan protagonis. Tokoh
ini biasanya memiliki sifat penolong dan bijaksana.
3.
Alur
(Plot)
Alur adalah urutan jalan cerita dalam cerpen yang di sampaikan oleh
penulis. Dalam menyampaikan cerita, ada tahapan-tahapan alur yang disampaikan
oleh sang penulis. Diantaranya:
1.
Tahap
perkenalan.
2.
Tahap
penanjakan.
3.
Tahap
klimaks.
4.
Anti
klimaks
4.
Latar
Latar mengacu
pada suasana, waktu dan tempat terjadinya cerita tersebut. Latar akan
memberikan kesan konkret pada suatu cerita pendek. Ada 3 jenis latar dalam
sebuah cerpen yakni latar waktu, tempat dan suasana.
5.
Sudut
Pandang
Sudut pandang
adalah strategi yang digunakan oleh pengarang cerpen untuk menyampaikan
ceritanya. Entah itu sebagai orang pertama, kedua, ketiga. Bahkan ada beberapa
penulis yang menggunakan sudut pandang orang yang berada di luar cerita.
6.
Gaya
bahasa
Gaya bahasa
adalah ciri khas sang penulis dalam menyampaikan tulisanya kepada publik. Entah
itu penggunaan diksinya, majas dan pemilihan kalimat yang tepat di dalam
cerpennya.
7.
Amanat
Amanat (Moral
value) adalah pesan moral yang bisa kita ambil dari cerita tersebut. Di dalam
sebuah cerpen, moral biasanya tidak disebutkan secara tertulis melainkan
tersirat dan akan bergantung pada pemahaman pembaca akan cerita tersebut.
C. Hasil Analisis Latar dalam Cerpen Clara
1.
Cerpen
CLARA atawa
Wanita yang Diperkosa
oleh Seno
Gumira Ajidarma
Di hadapanku duduk wanita itu. Rambutnya dicat merah. Coklat
sebetulnya. Tapi orang-orang menyebutnya merah. Padahal merah punya arti lain
bagiku. Sudah bertahun-tahun aku dicekoki pikiran bahwa orang-orang merah
adalah orang-orang yang berbahaya.
Jadi, aku tidak perlu percaya kepada wanita ini, yang rambutnya
sengaja dicat merah. Barangkali isi kepalanya juga merah. Barangkali hatinya
juga merah. Siapa tahu? Aku tidak perlu percaya kepada kata- kata wanita ini,
meski ceritanya sendiri dengan jujur kuakui lumayan mengharukan.
Dia bercerita dengan bahasa yang tidak mungkin dimengerti. Bukan
karena bahasa Indonesianya kurang bagus, karena bahasa itu sangat dikuasainya,
tapi karena apa yang dialami dan dirasakannya seolah- olah tidak terkalimatkan.
Wajahnya yang cantik sarat dengan luka batin yang tak terbayangkan. Aku
hampir-hampir terharu bahkan sebelum dia bercerita. Tidak pernah bisa
kubayangkan bahwa manusia bisa mengalami beban penderitaan seberat itu justru
karena dia lahir sebagai manusia. Ceritanya terpatah-patah. Kalimatnya tidak
nyambung.
Kata-kata bertebaran tak terangkai sehingga aku harus
menyambung-nyambungnya sendiri. Beban penderitaan macam apakah yang bisa
dialami manusia sehingga membuatnya tak mampu berkata-kata?
Maka cerita yang akan kau dengar ini bukanlah kalimatnya melainkan
kalimatku. Sudah bertahun-tahun aku bertugas sebagai pembuat laporan dan hampir
semua laporan itu tidak pernah sama dengan kenyataan. Aku sudah menjadi sangat
ahli menyulap kenyataan yang pahit menjadi menyenangkan, dan sebaliknya
perbuatan yang sebetulnya patriotik menjadi subversif — pokoknya selalu
disesuaikan dengan kebutuhan.
Maka, kalau cuma menyambung kalimat yang terputus-putus karena
penderitaan, bagiku sungguh pekerjaan yang ringan.
***
Api sudah berkobar di mana-mana ketika mobil BMW saya melaju di
jalan tol. Saya menerima telepon dari rumah. ”Jangan pulang,” kata Mama. Dia
bilang kompleks perumahan sudah dikepung, rumah-rumah tetangga sudah dijarah
dan dibakar. Papa, Mama, Monica, dan Sinta, adik-adikku, terjebak di dalam
rumah dan tidak bisa ke mana-mana. ”Jangan pulang, selamatkan diri kamu,
pergilah langsung ke Cengkareng, terbang ke Singapore atau Hong Kong. Pokoknya
ada tiket. Kamu selalu bawa paspor kan? Tinggalkan mobilnya di tempat parkir.
Kalau terpaksa ke Sydney tidak apa-apa. Pokoknya selamat. Di sana kan ada Om
dan Tante,” kata Mama lagi.
Saya memang sering ke luar negeri belakangan ini. Pontang-panting
mengurusi perusahaan Papa yang nyaris bangkrut karena utangnya dalam dolar
tiba-tiba jadi bengkak. Saya ngotot untuk tidak mem-PHK para buruh. Selain
kasihan, itu juga hanya akan menimbulkan kerusuhan. Papa marah-marah. ”Kita tidak
punya uang untuk membayar buruh. Selain produksi sudah berhenti, yang beli pun
kagak ada. Sekarang ini para buruh hidup dari subsidi perusahaan patungan kita
di luar negeri. Mereka pun sudah mencak-mencak profitnya dicomot. Sampai kapan
mereka sudi membayar orang-orang yang praktis sudah tidak bekerja?”
Saya masih ngotot. Jadi Papa putuskan sayalah yang harus
mengusahakan supaya profit perusahaan patungan kami di Hong Kong, Beijing, dan
Macao diperbesar. Tetesannya lumayan untuk menghidupi para buruh, meskipun
produksi kami sudah berhenti. Itu sebabnya saya sering mondar-mandir ke luar
negeri dan selalu ada paspor di tas saya.
Tapi, kenapa saya harus lari sekarang, sementara keluarga saya
terjebak seperti tikus di rumahnya sendiri? Saya melaju lewat jalan tol supaya
cepat sampai di rumah. Saya memang mendengar banyak kerusuhan belakangan ini.
Demonstrasi mahasiswa dibilang huru-hara. Terus terang saya tidak tahu persis
apa yang terjadi. Saya terlalu tenggelam dalam urusan bisnis. Koran cuma saya
baca judul-judulnya. Itu pun maknanya tidak pernah jelas. Namun, setidaknya
saya yakin pasti bukan mahasiswa yang membakar dan menjarah kompleks perumahan,
perkotaan, dan mobil-mobil yang lewat. Bahkan bukan mahasiswa pun sebenarnya
tidak ada urusan membakar-bakari rumah orang kalau tidak ada yang sengaja
membakar-bakar.
Saya tancap gas. BMW melaju seperti terbang. Di kiri kanan jalan
terlihat api menerangi malam. Jalan tol itu sepi, BMW terbang sampai 120
kilometer per jam. Hanya dalam sepuluh menit saya akan segera tiba di rumah.
Tapi, di ujung itu saya lihat segerombolan orang. Sukar sekali menghentikan
mobil. Apakah saya harus menabraknya? Pejalan kaki tidak dibenarkan berdiri di
tengah jalan tol, tapi saya tidak ingin menabraknya. Saya menginjak rem, tidak
langsung, karena mobil akan berguling-guling. Sedikit-sedikit saya mengerem,
dan toh roda yang menggesek aspal semen itu tetap mengeluarkan bunyi
Ciiiiiiitttt! Yang sering dianggap sebagai petanda betapa para pemilik mobil
sangat jumawa.
Setelah berhenti, saya lihat ada sekitar 25 orang. Semuanya
laki-laki.
”Buka jendela,” kata seseorang.
Saya buka jendela.
”Cina!” ”Cina!” Mereka berteriak seperti menemukan intan berlian.
Belum sempat berpikir, kaca depan BMW itu sudah hancur karena
gebukan. Aduh, benarkah sebegitu bencinya orang-orang ini kepada Cina? Saya
memang keturunan Cina, tapi apa salah saya dengan lahir sebagai Cina?
”Saya orang Indonesia,” kata saya dengan gemetar.
Braakk! Kap mobil digebuk. Seseorang menarik saya dengan kasar
lewat jendela. Saya dilempar seperti karung dan terhempas di jalan tol.
”Sialan! Mata lu sipit begitu ngaku-ngaku orang Indonesia!” Pipi
saya menempel di permukaan bergurat jalan tol. Saya melihat kaki-kaki lusuh dan
berdaki yang mengenakan sandal jepit, sebagian tidak beralas kaki, hanya satu
yang memakai sepatu. Kaki-kaki mereka berdaki dan penuh dengan lumpur yang
sudah mengering.
”Berdiri!” Saya berdiri, hampir jatuh karena sepatu uleg saya yang
tinggi. Saya melihat seseorang melongok ke dalam mobil. Membuka-buka laci
dashboard, lantas mengambil tas saya. Isinya ditumpahkan ke jalan.
Berjatuhanlah dompet, bedak, cermin, sikat alis, sikat bulu mata, lipstik, HP,
dan bekas tiket bioskop yang saya pakai nonton bersama pacar saya kemarin.
Dompetnya segera diambil, uangnya langsung dibagi-bagi setengah rebutan. Sejuta
rupiah uang cash amblas dalam sekejap. Tidak apa-apa. Mobil masih bisa
dikendarai dengan kaca pecah, dan saya tidak perlu uang cash. Di dalam dompet
ada foto pacar saya. Orang yang mengambil dompet tadi mengeluarkan foto itu,
lantas mendekati saya.
”Kamu pernah sama dia?”
Saya diam saja. Apa pun maksudnya saya tidak perlu menjawabnya.
Plak! Saya ditampar. Bibir saya perih. Barangkali pecah.
”Jawab! Pernah kan? Cina-cina kan tidak punya agama!” Saya tidak
perlu menjawab.
Bug! Saya ditempeleng sampai jatuh.
Seseorang yang lain ikut melongok foto itu.
”Huh! Pacarnya orang Jawa!” Saya teringat pacar saya. Saya tidak
pernah peduli dia Jawa atau Cina, saya cuma tahu cinta.
”Periksa! Masih perawan atau tidak dia!” Tangan saya secara refleks
bergerak memegang rok span saya, tapi tangan saya tidak bisa bergerak. Ternyata
sudah ada dua orang yang masing-masing memegangi tangan kanan dan tangan kiri
saya. Terasa rok saya ditarik. Saya menyepak-nyepak. Lagi-lagi dua pasang
tangan menangkap kedua kaki saya.
”Aaaahhh! Tolongngng!” Saya menjerit. Mulut saya dibungkam telapak
kaki berdaki. Wajah orang yang menginjak mulut saya itu nampak dingin sekali.
Berpuluh-puluh tangan menggerayangi dan meremas-remas tubuh saya.
”Diem lu Cina!” Rok saya sudah lolos….
***
Wanita itu menangis. Mestinya aku terharu. Mestinya. Setidaknya aku
bisa terharu kalau membaca roman picisan yang dijual di pinggir jalan. Tapi,
menjadi terharu tidak baik untuk seorang petugas seperti aku. Aku harus
mencatat dengan rinci, objektif, deskriptif, masih ditambah mencari tahu
jangan-jangan ada maksud lain di belakangnya. Aku tidak boleh langsung percaya,
aku harus curiga, sibuk menduga kemungkinan, sibuk menjebak, memancing, dan
membuatnya lelah supaya cepat mengaku apa maksudnya yang sebenarnya. Jangan
terlalu cepat percaya kepada perasaan. Perasaan bisa menipu. Perasaan itu
subjektif. Sedangkan aku bukan subjek di sini. Aku cuma alat. Aku cuma robot.
Taik kucing dengan hati nurani. Aku hanya petugas yang membuat laporan, dan
sebuah laporan harus sangat terinci bukan?
”Setelah celana dalam kamu dicopot, apa yang terjadi?”
Dia menangis lagi. Tapi masih bercerita dengan terputus-putus.
Ternyata susah sekali menyambung-nyambung cerita wanita ini. Bukan hanya
menangis. Kadang-kadang dia pingsan. Apa boleh buat, aku harus terus bertanya.
”Saya harus tahu apa yang terjadi setelah celana dalam dicopot,
kalau kamu tidak bilang, apa yang harus saya tulis dalam laporan?”
***
Saya tidak tahu berapa lama saya pingsan. Waktu saya membuka mata,
saya hanya melihat bintang-bintang. Di tengah semesta yang begini luas, siapa
yang peduli kepada nasib saya? Saya masih terkapar di jalan tol. Angin malam
yang basah bertiup membawa bau sangit. Saya menengok dan melihat BMW saya sudah
terbakar. Rasanya baru sekarang saya melihat api dengan keindahan yang hanya
mewakili bencana. Isi tas saya masih berantakan seperti semula. Saya melihat
lampu HP saya berkedip-kedip cepat, tanda ada seseorang meninggalkan pesan.
Saya mau beranjak, tapi tiba-tiba selangkangan saya terasa sangat
perih. Bagaikan ada tombak dihunjamkan di antara kedua paha saya. O, betapa
pedihnya hati saya tidak bisa saya ungkapkan. Saya tidak punya kata-kata untuk
itu. Saya tidak punya bahasa. Saya hanya tahu bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris untuk urusan bisnis. Kata orang, bahasa Cina sangat kaya dalam hal
menggambarkan perasaan, tapi saya tidak bisa bahasa Cina sama sekali dari
dialek manapun, kecuali yang ada hubungannya dengan harga-harga. Saya cuma
seorang wanita Cina yang lahir di Jakarta dan sejak kecil tenggelam dalam
urusan dagang. Saya bukan ahli bahasa, bukan pula penyair. Saya tidak tahu
apakah di dalam kamus besar Bahasa Indonesia ada kata yang bisa mengungkapkan
rasa sakit, rasa terhina, rasa pahit, dan rasa terlecehkan yang dialami seorang
wanita yang diperkosa bergiliran oleh banyak orang –karena dia seorang wanita
Cina. Sedangkan pacar saya saja begitu hati-hati bahkan hanya untuk mencium
bibir saya. Selangkangan saya sakit, tapi saya tahu itu akan segera sembuh. Luka
hati saya, apakah harus saya bawa sampai mati? Siapakah kiranya yang akan
membela kami? Benarkah kami dilahirkan hanya untuk dibenci?
Saya tidak bisa bergerak sampai seorang ibu tua datang
terbungkuk-bungkuk. Dia segera menutupi tubuh saya dengan kain.
”Maafkan anak-anak kami,” katanya, ”mereka memang benci dengan
Cina.”
Saya tidak sempat memikirkan arti kalimat itu. Saya bungkus tubuh
saya dengan kain, dan tertatih-tatih menuju tempat di mana isi tas saya
berserakan. Saya ambil HP saya, dan saya dengar pesan Papa: ”Kalau kamu dengar
pesan ini, mudah-mudahan kamu sudah sampai di Hong Kong, Sydney, atau paling
tidak Singapore. Tabahkanlah hatimu Clara. Kedua adikmu, Monica dan Sinta,
telah dilempar ke dalam api setelah diperkosa. Mama juga diperkosa, lantas
bunuh diri, melompat dari lantai empat. Barangkali Papa akan menyusul juga.
Papa tidak tahu apakah hidup ini masih berguna. Rasanya Papa ingin mati saja.”
***
Dia menangis lagi. Tanpa airmata. Kemudian pingsan. Kudiamkan saja
dia tergeletak di kursi. Ia hanya mengenakan kain. Seorang ibu tua yang
rumahnya berada di kampung di tepi jalan tol telah menolongnya. ”Dia terkapar
telanjang di tepi jalan,” kata ibu tua itu. Aku sudah melaporkan soal ini
kepada pimpinanku. Lewat telepon dia berteriak, ”Satu lagi! Hari ini banyak
sekali perkara beginian.
Tahan dia di situ. Jangan sampai ada yang tahu. Terutama jangan
sampai ketahuan wartawan dan LSM!” Pesuruh kantor membaukan PPO ke hidungnya.
Matanya melek kembali.
”Jadi kamu mau bilang kamu itu diperkosa?”
Dia menatapku.
”Padahal kamu bilang tadi, kamu langsung pingsan setelah … apa itu
… rok kamu dicopot?”
Dia menatapku dengan wajah tak percaya.
”Bagaimana bisa dibuktikan bahwa banyak orang memperkosa kamu?”
Kulihat di matanya suatu perasaan yang tidak mungkin dibahasakan.
Bibirnya menganga. Memang pecah karena terpukul. Tapi itu bukan berarti wanita
ini tidak menarik. Pastilah dia seorang wanita yang kaya. Mobilnya saja BMW.
Seorang wanita eksekutif. Aku juga ingin kaya, tapi meskipun sudah memeras dan
menerima sogokan di sana-sini, tetap begini-begini saja dan tidak pernah bisa
kaya. Naik BMW saja aku belum pernah. Aku memang punya sentimen kepada
orang-orang kaya –apalagi kalau dia Cina. Aku benci sekali. Yeah. Kainnya
melorot, dan tampaklah bahunya yang putih….
”Jangan terlalu mudah menyebarkan isyu diperkosa. Perkosaan itu
paling sulit dibuktikan. Salah-salah kamu dianggap menyebarkan fitnah.”
Di matanya kemarahan terpancar sekejap. Bahwa dia punya nyali untuk
bercerita, memang menunjukkan dia wanita yang tegar.
”Saya mau pulang,” ia berdiri. Ia hanya mengenakan kain yang
menggantung di bahu. Kain itu panjangnya tanggung, kakinya yang begitu putih
dan mulus nampak telanjang.
”Kamu tidur saja di situ. Di luar masih rusuh, toko-toko dibakar,
dan banyak perempuan Cina diperkosa.”
”Tidak, saya mau pulang.”
”Siapa mau mengantar kamu dalam kerusuhan begini. Apa kamu mau
pulang jalan kaki seperti itu? Sedangkan pos polisi saja di mana-mana dibakar.”
Dia diam saja.
”Tidur di situ,” kutunjuk sebuah bangku panjang, ”besok pagi kamu
boleh pulang.”
Kulihat dia melangkah ke sana. Dalam cahaya lampu, lekuk tubuhnya
nampak menerawang. Dia sungguh-sungguh cantik dan menarik, meskipun rambutnya
dicat warna merah. Rasanya aku juga ingin memperkosanya. Sudah kubilang tadi,
barangkali aku seorang anjing, barangkali aku seorang babi — tapi aku
mengenakan seragam. Kau tidak akan pernah tahu siapa diriku sebenarnya.
Masalahnya: menurut ilmu hewan, katanya binatang pun tidak pernah memperkosa.
Tentu saja tentang yang satu ini tidak perlu kulaporkan kepada
pimpinan. Hanya kepadamu aku bisa bercerita dengan jujur, tapi dengan catatan —
semua ini rahasia. Jadi, jangan bilang-bilang.
Jakarta, 26 Juni 1998
2. Hasil Analisis Latar dalam Cerpen Clara
Latar yang digunakan dalam cerpen ini
terdiri dari tiga latar, yaitu latar tempat, latar waktu dan latar suasana.
a.
Latar tempat : di jalan tol dan di kantor
polisi
1)
Di jalan tol
“
Saya tancap gas. BMW melaju seperti terbang. Dikiri jalan terlihat api
menerangi malam. Jalan tol itu sepi, BMW terbang sampai 120 kilometer per jam.
Hanya dalam sepuluh menit saya akan segera tiba dirumah. Tapi, di ujung itu
saya melihat segerombolan orang. Sukar sekali menghentikan mobil. Apakah saya
harus menbraknya? Pejalan kaki tidak dibenarkan berdiri di tengah jalan tol,
tapi saya tidak ingin menabraknya….”
2)
Di kantor polisi
“Dia menangis lagi. Tanpa air mata.
Kemudian pingsan. Kudiamkan saja dia tergeletak dikursi. Ia hanya mengenakan
kain. Seorang Ibu tua yang rumahnya berada di kampung di tepi jalan tol telah
menolongnya. “Dia terkapar telanjang ditepi jalan,” kata ibu tua itu. Aku sudah
melaporkan soal ini kepada pimpinanku. Lewat telepon dia berteriak, “Satu lagi!
Hari ini banyak sekali perkara beginian. Tahan dia d isitu. Jangan sampai ada
yang tahu. Terutama jangan sampai ketahuan wartawan dan LSM!” Pesuruh kantor
membaukan PPO ke hidungnya. Matanya melek kembali.”
b.
Latar waktu: malam hari
“ Saya tancap gas. BMW melaju seperti
terbang. Dikiri jalan terlihat api menerangi malam. Jalan tol itu sepi, BMW
terbang sampai 120 kilometer per jam…”
“ …Waktu saya membuka mata saya, saya hanya
melihat bintang-bintang. Ditengah semesta yang begini luas, siapa yang peduli
kepada nasib saya? Saya masih terkapar di jalan tol. Angin malam yang basah
tertiup membawa bau sangit…”
c.
Latar suasana
Banyak Sekali suasana yang di lukiskan
dalam cerpen ini. Berikut akan di bahas mengenai suasana dalam cerpen ini.
1)
Api berkobar dimana-mana
“Api sudah berkobar dimana-mana ketika BMW
saya melaju di jalan tol.”
2)
Tegang
“Dia
bilang kompleks perumahan sudah dikepung, rumah-rumah tetangga sudah dijarah
dan dibakar. Papa, Mama, Monica, dan Shinta, adik-adikku, terjebak di dalam
rumah dan tidak bisa kemana-mana.”
3)
Sepi
“ Jalan tol itu sepi, BMW terbang sampai
120 kilometer per jam. Hanya dalam sepuluh menit saya akan segera tiba di
rumah.”
4)
Ketakutan
“ ‘Saya orang Indonesia,’ kata saya dengan
gemetar.”
5)
Sedih
“ Wanita itu menangis. Mestinya aku
terharu. Mestinya. Setidaknya aku bisa terharu kalau membaca roman picisan yag
dijual di pinggir jalan.”
6)
Angin malam yang basah
” Angin malam yang basah bertiup membawa
bau sangit. Saya menengok dan melihat BMW saya sudah terbakar.”
7)
Mengharukan
“ Luka hati saya, apakah harus saya bawa
sampai mati? Siapakah kiranya yang akan membela kami? Benarkah kami dilahirkan
hanya untk dibenci?”
8)
Duka
“ Tabahkalah hatimu Clara. Kedua adikmu,
Monica dan Shinta, telah dilempar ke dalam api setelah diperkosa. Mama juga
diperkosa, lantas bunuh diri, melompat dari lantai empat.”
9)
Kemarahan
“ Di
matanya kemarahan terpancar sekejap. Bahwa dia punya nyali untuk bercerita,
memang menunjukkan dia wanita yang tegar.”
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Cerita pendek adalah karangan
nasihat yang bersifat fiktif yang menceritakan suatu peristiwa dalam kehidupan
pelakunya yang relatif singkat tetapi padat.
Unsur yang membangun karya sastra
adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik dalam karya sastra
cerpen pada umumnya meliputi tema, tokoh dan penokohan, alur atau plot, latar,
sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat.
Hasil analisis latar dalam cerpen
Clara Wanita yang Diperkosa yaitu latar tempat, waktu dan suasana. Latar tempat
ada di jalan tol dan di kantor polisi. Latar waktu pada malam hari. Latar
suasana dalam cerpen api berkobar di mana-mana, tegang, sepi, ketakutan, sedih,
angin malam yang basah, mengharukan, duka dan kemarahan.
B. Saran
Analisis
unsur intrinsik dalam sebuah cerpen memerlukan sebuah kejelian. Seorang analis
dalam menganalisis sebuah karya sastra hendaknya dilakukan secara objektif
sehingga hasilnya dapat dipertanggung jawabkan dengan baik.
Daftar Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar