Cari Blog Ini

Minggu, 26 Oktober 2014

islam dan emansipasi wanita



ISLAM DAN EMANSIPASI WANITA 

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
            Islam sebagai agama yang benar di sisi Allah telah menghapus diskriminasi kedudukan antara wanita dan laki-laki. Islam memandang semua makhluk Allah yang memiliki akal sehat, baik laki-laki maupun perempuan memilki amanah sebagai hamba Allah dan khalifah Allah, yang harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya dan kelak dimintai pertanggungjawaban oleh Allah, SWT.
            Agama Islam sangat memuliakan kedudukan wanita, meberikan posisi dan citra yang bagus terhadap wanita sebagaimana yang tertuang dalam firman Allah SWT “ Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan jaganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata, dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kepadanya kebaikan yang banyak.” (QS. Al-Nisa’ : 19).
            Keberadaan kaum wanita shalihah dalam kehidupan sangat berarti, sebagai nenek, ibu, isteri, saudara perempuan, anak dan cucu. Karena hanya dari cerminan perilaku yang baik yang ditampilkan oleh wanita shalehah akan berimbas pada kemaslahatan sebuah masyarakat, maka Allah SWT senantiasa menyeru kepada semua kaumnya (laki-laki dan perempuan) agar senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan dan juga ber-amar ma’ruf nahi munkar atau menyeru pada kebaikan dan menjauhi kemunkaran.
1.2 Rumusan Masalah
            Seperti yang telah di uraikan dalam latar belakang masalah maka apa saja yang perlu dibahas dalam konteks islam dan emansipasi wanita :
1. apa pengertian dari emansipasi wanita dalam Islam ?
2. apa saja hak-hak wanita ?
3. Bagaimana pandangan islam tantang wanita karier ?

1.3 Tujuan
            Sebagai bab yang mempelajari tentang islam dan emansipasi wanita tentu banyak pro dan kontra tentang apa yang akan disampaikan. Oleh karena itu, kami akan mengungkapkan tentang apa itu emansipasi wanita dan bagaimana pandangan islam tentang emansipasi wanita. Emansipasi wanita akan di pelajari disini.
            Kami tidak hanya menjelaskan tentang arti emansipasi saja. Tetapi kami lebih fokus kepada hak-hak wanita, kedudukan wanita dalam islam dan wanita karier dalam islam.















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian emansipasi wanita dalam islam
Emansipasi berasal dari bahasa latin “emancipatio” yang artinya pembebasan dari tangan kekuasaan. Di zaman Romawi dulu, membebaskan seorang anak yang belum dewasa dari kekuasaan orang tua, sama halnya dengan mengangkat hak dan derajatnya.
Emansipasi wanita adalah prospek pelepasan wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah, serta pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan maju. Dalam bahasa Arab, istilah ini dikenal dengan tahrir al-marah. Jauh Sebelum mempoklamirkan emansipasi wanita, Islam telah lebih dahulu mengangkat derajad wanita dari masa pencampakan wanita di era jahiliah ke masa kemulaian wanita. Semua sama di hadapan Allah, yang membedakan mereka di hadapan Allah adalah mereka yang paling bertaqwa, taqwa dalam artian menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangnnya.
Pemahaman emansipasi wanita yang berkembang saat ini mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM), menyerukan bahwa emansipasi wanita adalah menyamakan hak dengan kaum pria, padahal tidak semua hak wanita harus disamakan dengan pria. Mencermati pemahaman tersebut, Penulis tertarik mengkaji lebih mendalam terkait emansipasi wanita dalam perspektif hukum islam.
Islam sangat memuliakan wanita. Al-Qur’an dan Sunnah memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan yang terhormat kepada wanita, baik sebagai anak, istri, ibu, saudara maupun peran lainnya. Begitu pentingnya hal tersebut, Allah mewahyukan sebuah surat dalam Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad yaitu Surat An-Nisa’ yang sebagian besar ayat dalam surat ini membicarakan persoalan yang berhubungan dengan kedudukan, peranan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak wanita.
Sesungguhnya Islam menempatkan wanita di tempat yang sesuai pada tiga bidang :
Pertama, Bidang Kemanusiaan, Islam mengakui hak wanita sebagai manusia dengan sempurna sama dengan pria.
Kedua, Bidang Sosial , terbuka lebar bagi wanita di segala jenjang pendidikan, di antara mereka menempati jabatan-jabatan penting dan terhormat dalam masyarakat sesuai dengan tingkatan usianya, masa kanak-kanak sampai usia lanjut. Bahkan semakin bertambah usianya, semakin bertambah pula hak-hak wanita, usia kanak-kanak; kemudian sebagai seorang isteri, sampai menjadi seorang ibu yang menginjak lanjut usia (lansia), yang lebih membutuhkan cinta, kasih dan penghormatan.
Ketiga, Bidang Hukum, Islam memberikan pada wanita hak memiliki harta dengan sempurna dalam mempergunakannya tatkala sudah mencapai usia dewasa dan tidak ada seorang pun yang berkuasa atasnya baik ayah, suami, atau kepala keluarga.
Dalam Islam dijelaskan bahwa tidak ada perbedaan di antara manusia, baik laki-laki atau wanita yang mebedakan terletak pada kualitas keimanan dan ketaqwaan sebagaiman firman Allah dalam surat al-Hujurat: 13
Artinya :
            “ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahuin lagi Maha Mengenal”.
            Kedudukan wanita dalam islam sama-sama mulia dengan laki-laki di hadapan Allah SWT, artnya posisi mereka seimbang sebagaiman firman Allah SWT:
Artinya:
            Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqarah : 228).
            Al-Qur’an sebagai sumber hukum utama dalam ajaran Islam secara tegas menyatakan bahwa keberadaan wanita dan laki-laki sejajar, jika ada tanggapan “rendah” terhadap kedudukan wanita dalam Islam maka tanggapan tersebut sangat bertentangan dengan Al-Qur’an. Islam menghargai keberadaan wanita sebagaiman keberadaan laki-laki pada semua aspek kehidupan untuk senantiasa ber-amar ma’ruf nahi munkar atau menyeru pada kebaikan dan menjauhi kemunkaran, kecuali beberapa hal yang secara khusus berlaku bagi laki-laki maupun wanita. Sebagaiman ayat berikut:
Artinya:
            Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan permpuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS.Al-Ahzab:35)
2.2 Sejarah emansipasi wanita
Emansipasi wanita sendiri pertama kali terjadi di latarbelakangi pemberontakan kaum wanita di Perancis pada tanggal 6 Oktober 1789 di depan Gedung Balai Kota Paris. Penyebabnya, para wanita disana diperlakukan tidak adil, dihinakan, bagai seonggok tubuh yang tidak berguna. Tokoh pemberontakan tersebut Marie Olympe-de Gouge, dihukum penggal. Setelah aksi tersebut, banyak bermunculan organisasi kewanitaan, gerakan emansipasi pun menyebar ke Inggris, Jerman, dan belahan Eropa lainnya, otomatis gerakan emansipasi pun mendunia.
Gerakan emansipasi ini memicu gebrakan Wollstonecraft, tokoh-tokohnya ialah Clara Zetkin (1857-1933) di Jerman. Hẻlẻne Brion (1882-1962) di Perancis, ia menulis selebaran La voie feministe dengan judulnya yang terkenal, “Femme : ose ệtre! (Hai perempuan, beranilah jadi diri sendiri !). Anna Kuliscioff (1854-1925) di Italy, seorang pendiri liga wanita dan jurnal La Difesa delle Lavoratrici Carmen de Burgos alias ‘Colombine’. Kemudian Victoria  Claflin Woodhull (1938-1927), wanita pertama yang mencalonkan diri sebagai Presiden pada 1872.
R.A. kartini dan R.Dewi Sartika merupakan pelopor dalam mendobrak keterbelengguan peribumi oleh penjajah merupakan gerakan yang luar biasa bagi wanita Indonesia saat itu. Ini seperti perang dengan cara moderat tanpa adu kekuatan fisik, akan tapi adu otak, adu harga diri. Hingga memancing kebangkitan harga diri pribumi yang kita anggap sebagai zaman Kebangkitan Nasional.
Dengan kata lain emansipasi wanita menurut konsep Kartini merupakan perjuangan kaum wanita demi memperoleh hak memilih dan menentukan nasib sendiri. Sampai kini, mayoritas wanita Indonesia, terutama di daerah pedesaan dan sektor informal belum menyadari makna dari emansipasi wanita itu sendiri, akibat secara normatif terbelenggu persepsi etika, moral, dan hukum genderisme, serta lingkungan dan budaya. Belenggu budaya itulah yang harus didobrak gerakan perjuangan emansipasi wanita demi memperoleh hak asasi untuk memilih dan menentukan nasib sendiri.
Jika Indonesia memiliki R.A Kartini dan R. Dewi Sartika, maka jika kita flash back pada zaman Penyebaran Islam, maka kita juga akan menjumpai wanita-wanita tercatat dalam sejarah tak kalah tangguhnya. Khadijah binti Khuwailid, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar, Juwairiah binti Harits bin Abu Dhirar, Maimunah binti Harits, Ummu Salamah, Zainab binti Jahsy, Fatimah binti Muhammad, Ummi Kultsum binti Muhammad, Zainab binti Muhammad, dan banyak lagi pejuang wanita Islam lainnya.
Merekalah yang telah memberikan suri tauladan yang sangat mulia untuk keberlangsungan emansipasi wanita, tidak hanya hak saja yang mereka minta akan tetapi kewajiban sebagai seorang wanita, istri, anak atau sahabat. Sudah jelas tergambar dalam  pandangan Islam wanita yang baik adalah wanita yang seoptimal mungkin memaksimalkan potensi diri menurut konsep al-qur’an dan assunnah.
Ialah wanita yang mampu menyelaraskan fungsi, hak dan kewajibannya sebagai seorang hamba Allah (Surah At-Taubah71), seorang istri ( surah An-Nisa 34), seorang ibu ( surah Al-Baqoroh 233 ), warga masyarakat (surah Al-furqan 33), da’iyah (surah Ali Imran104 -110).

2.3 Hak-hak wanita dalam islam

Wanita muslimah secara umum memiliki pengaruh yang besar terhadap komunitas masyarakat. Apabila wanita dalam kondisi baik maka masyarakat atau bangsa dan negara akan menjadi baik. Sebaliknya apabila mereka benar-benar rusak maka masyarakat pun akan rusak.
            Mengingat imbas dari perilaku kaum wanita terhadap kemaslahatan bersama maka sebagai wanita muslimah harus memahami agama, hukum dan syari’at Allah SWT secara kaffah/ menyeluruh. Sebagai contoh, wanita harus memahami hak dan kewajiban atas dirinya sendiri kemudian mampu mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Secara umum surat An-Nisa ayat 32 menjelaskan hak-hak wanita:
Artinya:
            (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan.
Hak wanita sebagai individu dibagi menjadi dua yaitu:
1.      Hak Thabi’i, adalah hak manusia yang berlaku fitrahnya, menurut asal kejadiannya, bahwa keadaan itu adalah menjadi hak manusia, seperti hak hidup dan hak merdeka,
2.      Hak yang diberikan oleh Undang-Undang atau peraturan, yaitu hak yang dijamin berdasarkan peraturan yang dibuat oleh manusia. bersifat politis karena terserah kepada siapa yang berkuasa membuat Undang-Undang. (Yanggo, 2010).
Ajaran Islam mengakui hak-hak wanita dan menempatkannya di beberapa bidang, yaitu:
1.      Bidang kemanusiaan, Islam mengakui haknya sebagi manusia dengan sempurna sama dengan pria. Umat yang lampau mengingkari permasalahan ini,
2.      Bidang sosial, telah terbuka lebar bagi mereka di segala jenjang pendidikan, di antara mereka menempati jabatan-jabatan penting dan terhormat dalam masyarakat sesuai dengan tingkatan usianya, masa kanak-kanak sampai usia lanjut. Bahkan semakin bertambah usianya, semakin bertambah pula hak-hak mereka, usia kanak-kanak; kemudian sebagai seorang isteri, smapai menjadi seorang ibu dan menginjak lansia, yang lebih membutuhkan cinta, kasih dan penghormatan,
3.      Bidang hukum, Islam memberikan pada wanita hak memilki harta dengan sempurna dalam mempergunakannya tatkala sudah mencapai usia dewasa dan tidak ada seorang pun yang berkuasa atasnya baik ayah, suami, atau kepala keluarga (Hasyim, 2008).
Sedangkan menurut Quraish Shihab (2007), menyatakan bahwa:
1.      Kaum wanita mempunyai hak untuk bekerja, selama norma-norma agamadan etika tetap terpelihara dalam diri masing-masing individu.
2.      Kaum wanita memilki hak dan kewajiban untuk menuntut ilmu, sebagimana hadits Nabi Saw: “ Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim(dan Muslimat)” . (HR. Al-Thabarani)
3.      Kaum wanita juga memiliki hak untuk berkiprah dalam dunia politik. Seperti memberikan pendapat saat bermusyawarah untuk menyelesaikan permasalahan umat. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Syura ayat 38, menyeru semua umatnya (Laki-laki dan wanita) agar bermusyawarah.
Artinya:
            Urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat anatara mereka
            Sejarah Islam menunjukkan banyak wanita Islam yang terlibat pada persoalan politik praktis, seperti Aisyah (istri Nabi Muhammad saw) pernah memimpin langsung sebuah peperangan. Ummu Hani’ pernah memberikan jaminan keamanan kepada sebagian orang musyrik. Memberi jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik.

2.4 Kedudukan wanita dalam islam
Secara lebih rinci, Penulis akan menjelaskan mengenai hukum islam yang mengatur tentang emansipasi wanita yang konon diartikan sebagai tuntutan persamaan gender dengan pria. Adapun dalil-dalilnya adalah sebagai berikut.
1. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam pandangan Allah
Kedudukan wanita yang sama dengan pria dalam pandangan Allah dapat ditilik dalam QS. Al-Ahzab : 35, “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan kepada mereka ampunan dan pahala yang besar”.
Orang muslim yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang yang mengikuti perintah dan menjauhi larangan pada lahirnya, sedangkan yang dimaksud orang mukmin adalah orang-orang yang membenarkan apa yang harus dibenarkan oleh hatinya. Berdasarkan dalil ini, islam menjelaskan bahwa kedudukan antara wanita dan pria adalah sama, yang membedakan adalah iman dan ketakwaannya.
2. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam berusaha untuk memperoleh, memiliki, menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaannya
Berkenaan dengan kedudukan tersebut maka dalil dalam Islam dapat dirujuk dalam QS. An-Nisa : 4, “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebahagian maskawin itu dengan senang hati, makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.
Pemberian itu adalah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas. Selain dalil tersebut, kedudukan wanita dan pria dalam berusaha memperoleh, memiliki, menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaan dapat dilihat dalam QS. An-Nisa’ : 32, “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi laki-laki ada bahagian yang mereka usahakan, dan bagi para (wanita) pun ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya.Sesungguhnya Allah Maha MEngetahui segala sesuatu”.
3. Kedudukan wanita sama dengan pria untuk menjadi ahli waris dan memperoleh warisan, sesuai pembagian yang ditentukan.
Kedudukan wanita dan pria terkait dengan warisan dapat dirujuk dalam QS An-Nisa’ : 7, “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. Islam merupakan agama yang kaffah,pengaturan terkait kedudukan pria dan wanita rinci diatur di dalamnya, salah satunya mengenai pembagian warisan.
4. Hak dan kewajiban wanita dan pria, dalam hal tertentu sama dapat dilihat dalam QS Al-Baqarah : 228 dan At-Taubah:71) dan dalam hal lain berbeda karena kodrat mereka yang sama dan berbeda pula (QS An-Nisa : 11 QS An-Nisa : 43). Kodratnya yang menimbulkan peran dan tanggung jawab antara pria dan wanita, maka dalam kehidupan sehari-hari, misalnya sebagai suami isteri, fungsi mereka pun berbeda. Suami (pria) menjadi penanggungjawab dan kepala keluarga, sementara isteri (wanita) menjadi penanggungjawab dan kepala rumahtangga.
Berdasarkan dalil-dalil yang telah Penulis kemukakan, maka dapat diketahui bahwa islam sangat menjunjung harkat wanita bahkan melindungi dari hal yang paling sederhana hingga yang lebih kompleks.

2.5 Wanita karier dalam islam
Peran wanita dalam kehidupan cukup luas meliputi berbagai bidang, seperti bidang agama, pendidikan, sosial, budaya, politik, hukum dan keamanan. Wanita adalah manusia sebagaimana laki-laki, manusia hidup dengan tabiatnya; berfikir dan bekerja. Dalam kiprahnya wanita harus bisa menselaraskan dengan ajaran agama Islam, aqidah yang diimani, akhlak dan masalah yang tidak bertentangan dari syari’at Islam.
            Wanita muslimah mempunyai kewajiban untuk memperkuat hubungannya dengan Allah SWT. Senantiasa menyucikan fikiran, menjalankan secara keseluruhan mengenai akhlak dan perilakunya, sesuai dengan yang dikehendaki oleh Islam.
            Pada dasarnya wanita muslimah yang sudah berkeluarga diperbolehkan bekerja di luar rumah asalkan tidak melalaikan tugas utama sebagai istri sekaligus ibu bagi anak-anaknya, untuk membentuk keluarga bahagia yang penuh ketentraman, kasih sayang, dan tanggung jawab.
            Menurut Sa’dawi (2009) jika wanita muslimah diperbolehkan berkarir, maka haruslah dengan beberapa syarat dan ketentuan sebagai berikut :
1.      Pekerjaan tersebut memang disyari’atkan dalam Islam, bukan pekerjaan haram atau membawa kepada perkara yang diharamkan dalam Islam.
2.      Menjaga adab wanita muslimah saat bekerja di luar rumah. Menjaga cara berpakaian, berjalan, berbicara, dan beraktivitas. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nur ayat 31:
“ katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”

Dan firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab:32
Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah Perkataan yang baik.
3. Pekerjaan tersebut tidak sampai melupakan kewajiban utamanya, seperti kewajiban mengurus suami dan anak-anaknya.
            Demikian Islam memberikan aturan-aturan secara tegas terhadap wanita muslimah yang berkiprah di luar rumah, aturan tersebut bukan membatasi aktivitas wanita namun lebih pada memberikan perlindungan terhadap wanita dari segala goda’an dan pengaruh budaya yang negatif sehingga muslimah terjamin keamanannya dalam beraktivitas.









BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            pemahaman mengenai emansipasi perempuan harus dilihat dari berbagai aspek. tidak hanya dilihat dari aspek penuntutan hak saja, tetapi juga harus dilihat dari pemenuhan kewajiban. Perkembangan zaman mendengungkan emansipasi sebagai penuntutan hak-hak saja tetapi mengesampingkan kewajiban yang menjadi konsekuensi dari hak-hak tersebut. Contoh konkritnya, wanita diperbolehkan berkarier, tetapi juga harus memenuhi kewajibannya seperti tetap memakai hijabnya dalam bekerja dan mengetahui posisinya di berbagai peran lainnya, yakni sebagai istri dan sebagai ibu.
Dengan demikian, makna emansipasi menurut perspektif hukum islam tidak hanya menjabarkan mengenai penuntutan hak saja akan tetapi juga menjelaskan tentang kewajiban-kewajiban merupakan konsekuensi dari hak yang bertujuan untuk memuliakan wanita itu sendiri.
3.2 Saran
Kami sebagai penulis ingin memberi tambahan bahwa emansipasi bukanlah pembebasan diri wanita. Selama ini, emansipasi lebih cenderung diartikan sebagai persamaan gender yang berimplikasi pada bentuk kebebasan memilih. Memilih dalam arti demikian disebut-sebut sebagai bagian dari hak asasi manusia. Misalnya, memilih menjadi wanita karier, padahal tugas mencari nafkah adalah kewajian seorang suami. Hal tersebut dianggap sebagai perwujudan bahwa kedudukan wanita dan pria adalah sama. Pada dasarnya, Islam membolehkannya tetapi ada batasannya dan tentunya tidak melanggar syari’. Sebagaimana telah tertulis dalam Al-Baqarah : 228, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.”




Daftar Pustaka

Tim Dosen PAI Unesa. 2011. Pendidikan Agama Islam.  Surabaya : Unesa University Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar