Terbanglah Layang-layang
Matahari sudah mencapai
puncaknya, panasnya pun tiada lagi terkira. Apalagi sekarang ini sudah memasuki
musim kemarau. Namun, panasnya sinar Matahari di siang ini tidak menghalangi
Dika dan Purnomo bermain layang-layang. Dika dan Purnomo biasa bermain
layang-layang di tanah lapang. Tanah lapang tempat mereka bermain merupakan
tanah milik desa, sehingga mereka bebas bermain di sana. Dika dan Purnomo
adalah sahabat karib. Purnomo lebih muda dari Dika. Dika sekarang sudah kelas 6
SD, sedangkan Purnomo kelas 5 SD. Meskipun tidak satu kelas, tetapi mereka
senang bermain bersama.
Siang ini mereka bermain
layang-layang. Purnomo bertugas menerbangkan layang-layang, Ia mengambil jarak
agak jauh dari Dika. Sedangkan, Dika bertugas sebagai penarik layang-layang.
Purnomo sudah memegang dan bersiap-siap akan menerbangkan layang-layang milik
Dika. Ketika sudah siap, Purnomo mengatakan “Dul...dul...” dan melepaskan
layang-layang. Lalu, Dika segera menarik layang-layang yang telah dilepaskan Purnomo.
Dika menarik layang-layang sambil berlari sampai layang-layangnya terbang di
angkasa. Akhirnya, dengan susah payah Dika dapat menerbangkan layang-layangnya
di angkasa. Dika dan Purnomo pun tertawa riang melihat layang-layang Dika yang
telah membumbung tinggi di angkasa raya. Teriknya sinar Matahari di siang ini
seolah tidak dirasakan oleh mereka. Tampak sekali peluh berjatuhan membasahi
tubuh mereka. Namun, mereka tetap tertawa dan tidak memedulikannya.
Dika pun mengulur benang
layang-layang miliknya semakin panjang, sehingga layang-layang yang tadinya
masih terlihat besar sekarang telah terlihat semakin kecil. Karena
layang-layang tersebut semakin tinggi sehingga jauh dari pandangan mata dan
tampak sangat kecil. Angin yang berhembus membuat layang-layang milik Dika
tetap membumbung tinggi di angkasa.
Ternyata, tidak hanya Dika
dan Purnomo yang bermain layang-layang di tanah lapang. Ada juga Revan dan
Rozak yang juga berusaha menerbangkan layang-layangnya di seberang mereka.
Tampak berkali-kali Revan dan Rozak akan menerbangkan layang-layang tetapi
selalu terjatuh. Karena angin yang berhembus di bawah kurang kuat untuk
menerbangkan layang-layang milik Rozak. Namun, Revan dan Rozak terus berusaha
meskipun berkali-kali layang-layang tersebut jatuh.
Melihat dua temannya
kesusahan, Dika menyuruh Purnomo membantu Revan dan Rozak. Sementara itu, Dika
memegang benang layang-layang miliknya dengan erat. Purnomo membantu Rozak
menerbangkan layang-layang milik Rozak. Beberapa kali layang-layang Rozak
terjatuh. Namun, Purnomo dan Rozak tetap berusaha menerbangkannya. Revan
memperkirakan arah angin dengan baik. Kemudian, Revan memberitahukan arah angin
yang baik untuk menerbangkan layang-layang Rozak. Akhirnya, sesudah bersusah
payah dan dibantu oleh Purnomo layang-layang milik Rozak dapat terbang di
angkasa seperti milik Dika. Sekarang layang-layang Rozak perlahan terbang untuk
menyamai layang-layang milik Dika.
Rozak pun tidak mau kalah,
Ia mulai melepas benang layang-layangnya agar terbang semakin tinggi. Ia ingin
layang-layang miliknya lebih tinggi dari milik Dika. Perseteruan antara Dika
dan Rozak dimulai. Mereka berdua berlomba menerbangkan layang-layang mereka
semakin tinggi hingga tampak sangat kecil dari bawah.
Tanpa disadari mereka terus
melepaskan benang layang-layang semakin banyak. Sementara itu, angin di atas
sana semakin kencang menerpa layang-layang milik Dika dan Rozak. Purnomo dan
Revan berusaha membantu memegang tali benang layang-layang milik Dika dan Rozak
agar tidak terbawa angin.
Kedua layang-layang itu pun
membumbung tinggi di angkasa raya. Sementara itu, angin di atas sana semakin
kencang. Angin di bawah pun juga semakin kencang, sehingga mereka sangat
kewalahan. Dika dan Rozak berusaha mempertahankan layang-layang milik mereka.
Revan juga panik dan memberikan usul agar Dika dan Rozak menurunkan
layang-layang mereka. Sebab angin di atas dan di bawah semakin kencang. Karena
angin yang berhembus kencang dapat membuat layang-layang mereka putus. “Hei,
turunkan saja layang-layangnya !”, seru Revan. “Ah...seru ini, tambah enak
anginnya semakin kencang,” kata Dika. “Iya, lihat tambah bagus kalau anginnya
kencang jadi tidak terjatuh layang-layangnya,” tambah Purnomo. “ Tapi, nanti
kalau benangnya terputus bagaimana?”, kata Rozak. “Tidak mungkin, benangnya
sangat kuat Zak,” kata Dika. “Sudah Zak, lebih baik turunkan sedikit saja biar
nanti mudah kalau misalnya benangnya terputus,” usul Revan pada Rozak. “Baiklah
kalau begitu Van,” kata Rozak. Lalu, Rozak pun menurunkan sedikit demi sedikit
layangannya dan tetap terbang di angkasa.
Sekarang tinggal
layang-layang Dika yang paling tinggi. Dika dan Purnomo sangat bangga, karena
sekarang layang-layang merekalah yang paling tinggi. Meskipun terkadang angin
berhembus kencang, tetapi Dika dengan dibantu Purnomo dapat mempertahankan
layang-layangnya. Rozak dan Revan menerbangkan layang-layangnya pada titik
rendah saja, karena takut angin berhembus kencang dan membawa layang-layangnya.
Layang-layang milik Dika
masih berada di titik paling tinggi dibandingkan layang-layang milik Rozak.
Layang-layang Dika tampak seperti menikmati ketinggiannya di angkasa raya
dengan tenang. Angin bertiup sepoi-sepoi menemani hari beranjak dari siang
menuju sore. Keempat anak tersebut masih betah bermain layang-layang di tanah
lapang.
Tidak terasa hari semakin
sore. Banyak anak-anak kecil mulai berdatangan ke tanah lapang. Ada anak kecil baik laki-laki
maupun perempuan. Mereka bermain
kejar-kejaran di tanah lapang milik desa mereka tersebut. Anak-anak yang lain
juga tampak sedang bermain sepak bola. Ada juga pemuda-pemudi di sisi lain dari
tanah lapang ini mulai berdatangan untuk bermain volly di lapangan volly yang
terletak di sudut dari tanah lapang desa ini. Setiap hari suasana sore hari di
tanah lapang di desa Dika selalu ramai.
Di sisi lain dari tanah
lapang di desa ini empat anak yaitu, Dika, Purnomo, Revan, dan Rozak masih
asyik bermain layang-layang. Angin yang bertiup di sore hari semakin kencang.
Tanpa disadari oleh Dika, ternyata benang layang-layang Dika semakin tipis di
atas angkasa karena terombang-ambing oleh gerakan layang-layang. Sebab, angin
yang bertiup bertambah kencang. Tidak berapa lama kemudian, layang-layang milik
Dika benangnya terputus. Layang-layang Dika pun terbang mengikuti angin yang
berhembus semakin kencang. Angin tersebut entah akan membawa layang-layang
milik Dika ke arah mana.
Dika sangat panik melihat
layang-layang miliknya putus. Tanpa memedulikan keadaan sekitar, Ia berlari
mengikuti layang-layangnya yang putus. Ia terus berlari sambil sesekali melihat
ke atas untuk melacak ke arah mana terbangnya layang-layang miliknya. Melihat
temannya berlari mengejar layang-layang, Purnomo mengikutinya. Sementara itu,
Rozak dan Revan segera menurunkan layang-layang milik Rozak. Setelah berhasil
menurunkan layang-layang, Rozak dan Revan segera menyusul Dika dan Purnomo.
Dika dan Purnomo sudah
berlari jauh mengejar layang-layang milik Dika. Rozak dan Revan berlari
mengikuti Dika dan Purnomo. Layang-layang milik Dika terbang semakin jauh dari
tanah lapang. Layng-layang tersebut terbang ke arah persawahan yang terletak di
luar desa Dika. Keempat bocah tersebut terus berlari mengejar layang-layang
putus tersebut.
Tampak sekali layang-layang
milik Dika itu semakin oleng, karena angin yang berhembus mulai tidak stabil.
Seolah-olah layang-layang itu seperti kapal laut yang sedang terombang-ambing
di tengah lautan yang sedang badai. Angin yang berhembus semakin tidak ada
ketika keempat bocah tadi sampai di tengah-tengah persawahan.
Layang-layang Dika
meliuk-liuk di angkasa dan akan segera jatuh. Tidak jauh dari layang-layang
yang akan jatuh itu ada sebuah pohon Klampis. Pohon Kalmpis ini ada di
persawahan di luar desa, biasanya di pohon ini ada sarang burung bangau.
“weng....weng...wweng...” suara layang-layang milik Dika semakin keras. Ini
menandakan layang-layang Dika akan segera mendarat ke bumi.
“weng....weng...weng...srtt..,” layang-layang Dika jatuh dan tersangkut di
pohon Klampis.
Dika, Purnomo, Revan, Dan
Rozak terlihat terengah-engah karena telah berlari jauh demi mengejar
layang-layang milik Dika. Akhirnya layang-layang itu berhenti terbang dan
tersangkut di pohon Klampis. Mereka berhenti sejenak untuk mengatur napasnya
yang tidak teratur.
Setelah itu, mereka
mendongak ke atas untuk melihat layang-layang Dika yang tersangkut di pohon.
Dika tampak sedang berpikir. Dika tidak langsung memanjat ke pohon Klampis itu
untuk mengambil layang-layangnya. Teman-teman Dika juga tidak ada yang berani memanjat
pohon tersebut. Bukan karena mereka takut dengan burung bangau atau semut yang
ada di pohon. Alasan mereka tidak berani memanjat pohon Klampis karena pohon
ini penuh dengan duri. Jadi, tidak satu pun dari mereka yang berani memanjat
pohon tersebut.
Purnomo mencoba
mencari-cari sesuatu di sekitarnya. Tampak sebuah tongkat agak panjang
tergeletak tidak jauh darinya. Kemudian, Purnomo mengambil tongkat tersebut.
Tongkat itu digunakan oleh Purnomo untuk mengambil layang-layang milik Dika.
Purnomo susah payah ingin menggapai layang-layang temannya itu dengan tongkat
yang Ia bawa. Purnomo tetap tidak bisa menggapai layang-layang itu, sebab
tongkatnya kurang panjang.
“ Ayo, naik di punggungku
saja Pur,” usul Rozak pada Purnomo. Purnomo menerima usulan dari Rozak. Purnomo
segera naik ke punggung Rozak. Purnomo berusaha mengambil layang-layang Dika
dengan bantuan tongkat yang ada di tangannya. Layang-layang milik Dika pun
jatuh ke tanah. Keadaannya sangat buruk, banyak bagian yang sobek dari tubuh
layang-layang.
Dika tampak sedih melihat
layang-layang miliknya yang rusak. Dika segera mengambil layang-layangnya dan
membolak-baliknya. Ada bagian layang-layang yang patah, kertasnya banyak yang
sobek, dan bentuknya sudah tidak bagus lagi. Revan memandangi Dika yang terlihat
sangat sedih. Revan sangat kasihan kepada Dika.
Revan menghibur Dika agar
tidak bersedih. “Sudah Dik, tidak perlu bersedih. Nanti, kita perbaiki
layang-layang ini,” kata Revan. “Betul itu Van, kalau perlu kita buat lagi yang
baru dan bagus,” usul Purnomo. “Itu ide yang bagus Pur, tapi aku sangat
menyukai layang-layangku ini,” kata Dika. “Ya sudah, kalau begitu nanti malam
kita perbaiki saja bersama-sama...,” ajak Purnomo. “Boleh juga usulmu Pur, tapi
sekarang Ayo kita pulang dulu, langit sudah mulai gelap,” kata Rozak kemudian.
Akhirnya, mereka berempat
pulang ke rumah masing-masing dan segera mandi. Tidak lama kemudian, azan
magrib berkumandang dari masjid. Warga segera menuju ke masjid desa untuk
melaksanakan salat berjamaah. Warga memiliki banyak waktu salat berjamaah di
masjid desa pada malam hari, karena pada siang hari banyak warga yang masih
bekerja. Kalau siang hari warga desa jarang salat secara berjamaah.
Dika, Purnomo, Rozak, dan
Revan juga salat berjamaah di masjid. Setelah selasai salat berjamaah, mereka
berkumpul untuk memperbaiki layang-layang Dika. Mereka segera menuju rumah
Dika. Dika mengambil segala keperluan untuk memperbaiki layang-layang miliknya.
Adapun alat dan bahan yang diambil Dika yaitu, golok, pisau, lem, kertas
layang-layang, tali/benang, dan sebilah bambu.
Alat dan bahan untuk
memperbaiki kayangan sudah tersedia. Dika dengan dibantu Purnomo, Rozak, dan
Revan pun segera memperbaikinya. Purnomo mengambil golok dan sebilah bambu
untuk dipotong menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Sementara itu, Dika
membantu Purnomo untuk membersihkan bagian-bagian kecil yang telah dipotong,
agar sesuai dengan bagian layang-layang yang telah rusak. Setelah potongan
bambu dibersihkan, Rozak mengotak-atik bambu tersebut. Ia mencoba membuat bambu
tersebut melengkung agar sesuai dengan rangka badan layang-layang yang rusak. Setelah
dianggap sesuai, segera bagian yang rusak diganti dengan yang baru dan
disatukan dengan tali. Revan membuat pola dari kertas layang-layang. Ia
membuatnya sesuai dengan bentuk badan layang-layang dan mengguntingnya.
Dika mengambil pola yang
telah digunting oleh Revan. Dika meletakkan pola tersebut pada bagian
layang-layang yang kertasnya sudah sobek. Ia segera merekatkan pola ke badan
layang-layang dengan lem. Setelah itu, Dika mencoba menerbangkan
layang-layangnya. Dika mengangkat layang-layangnya setinggi badan dan
menggerakkannya ke depan dan ke belakang. Jika dirasa sudah mantap dan
seimbang, maka layang-layang bisa diterbangkan lagi.
Permainan layang-layang di
desa tempat Dika tinggal dapat dimainkan saat siang maupun malam hari. Saat
siang hari, permainan layang-layang banyak dimainkan oleh anak-anak. Saat malam
hari, biasanya Bapak-bapaklah yang bermain layang-layang. Agar layang-layang
terlihat pada malam hari, maka dipasang lampu warna-warni di tubuh
layang-layang. Lampu tersebut dapat menyala karena ada baterai yang diletakkan
pada rangka tubuh layang-layang.
Dika berencana untuk
mencoba layang-layangnya yang sudah diperbaiki di malam hari ini. Untuk itu,
Dika dan teman-temannya memasangkan lampu mengelilingi rangka tubuh
layang-layang. Selain itu, Dika tidak lupa memasang baterai agar lampu dapat
menyala. Sebelu diterbangkan, lampu dicoba terlebih dahulu dengan menyalurkan
kabel lampu ke baterai.
Perlu diperhatikan dengan
baik ketika hendak menyambungkan kabel lampu ke baterai. Hal ini harus
dilakukan dengan benar lampu dapat menyala. Pertama, Dika mencoba menyambungkan
kabel lampu pada kutub baterai. Hasilnya, lampu tidak dapat menyala karena
sambungannya salah. Seharusnya kutub negatif lampu dipasangkan dengan kutub
positif baterai. Sedangkan, kutub positif lampu dipasangkan dengan kutub
negatif baterai. Setelah itu, lampu dapat menyala dan Dika merasa senang.
Dika, Purnomo, Rozak, dan
Revan bergegas menuju tanah lapang desa. Di sana sudah ada Bapak-bapak yang
menerbangkan beberapa layang-layang. Tampak di atas lampu warna-warni yang
muncul dari tubuh layang-layang. Dika juga tidak mau ketinggalan. Ia meminta
Purnomo agar membantunya untuk menerbangkan layang-layang miliknya. Purnomo
segera membawa lari layang-layang Dika ke sudut tanah lapang. Purnomo juga
menyalakan lampu yang ada di layang-layang Dika, sehingga saat diterbangkan
nanti dapat menyala dengan bagus. Di sudut yang lain, Dika memegang benang layang-layangnya.
Dari kejauhan Purnomo sudah siap, Ia segera memberikan aba-aba kepada Dika.
“satu, dua, tiga,...Dul,” kata Purnomo memberi aba-aba. “Dul...,” sahut Dika
secara bersamaan dengan Purnomo.
Tidak lama setelah itu,
layang-layang Dika membumbung di angkasa. Dika terus mempertahankan
layang-layangnya agar tetap bertahan di angkasa. Ketika angin sudah dirasakan
cukup menguntungkan, Dika segera melepaskan benangnya lebih banyak agar terbang
lebih tinggi lagi. Dari bawah terlihat apu warna-warni terpancar dari
layang-layang yang sedang mengudara di langit desa. layang-layang Dika memiliki
lampu dengan perpaduan dua warna, yaitu biru dan merah. Ada juga layang-layang
milik Pak Devin dengan lampu berwarna merah dan putih. Selain itu, ada banyak
lagi layang-layang milik Pak Supadi, Pak Karim, Pak Laidi, dan Pak Lutfi.
Sebenarnya, tidak hanya di
tanah lapang desa saja tempat menerbangkan layang-layang. Terkadang ada juga
yang menerbangkan di persawahan dekat rumah warga. Tanah lapang desa tempat
Dika dan teman-temannya menerbangkan layang-layang merupakan pusat desa. Pusat
desa menjadi tempat pemerintahan sebuah desa.
Sebuah desa tentu terbagi
ke dalam beberapa dukuh. Setiap dukuh memiliki tanah lapang selain tanah lapang
yang ada di pusat desa. Tanah lapang yang paling besar terletak di pusat desa
tempat Dika dan teman-temannya bermain layang-layang. Pedesaan tempat Dika
tinggal terdiri dari kurang lebih 6.000 penduduk. Banyak rumah di desa ini
memiliki halaman begitu luas, sehingga antara rumah satu dengan yang lainnya
memiliki jarak yang lebar.
Selain itu, setiap dukuh di
desa tempat Dika tinggal memiliki wilayah sendiri-sendiri. Jarak antara dukuh
satu dengan yang lainnya sangat jelas. Karena, setiap dukuh di desa ini di
kelilingi oleh pepohonan bambu yang begitu rindang. Ada pula persawahan yang
memisahkan setiap dukuh, sehingga sangat jelas batas wilayah setiap dukuh di
desa ini.
Jadi, tidak hanya di tanah
lapang desa saja ada orang yang menerbangkan layang-layang pada malam hari.
Warga desa yang dukuhnya berbeda pun juga menerbangkan layang-layang pada malam
hari. Layang-layang dengan lampu warna-warni terlihat dari tanah lapang desa,
lampu itu terlihat di sebelah timur. Layang-layang yang terlihat di sebelah
timur tersebut sepertinya berasal dari dukuh Ketan yang merupakan bagian dari
desa Kepoh. Layang-layang di sebelah selatan terletak di dukuh Jambe, juga
merupakan dukuh dari desa Kepoh. Layang-layang juga ada yang terletak di
sebelah barat yaitu di dukuh Ngampon.
Setiap malam di musim
kemarau banyak warga memiliki hobi membuat dan menerbangkan layang-layang.
Layang-layang tersebut diterbangkan pada musim kemarau sebab pada musim inilah
angin berhembus kencang. Angin kencang dibutuhkan untuk menerbangkan
layang-layang.
Warga yang tidak
menerbangkan layang-layang setiap malam di luar rumah untuk memandangi langit.
Tampak berjuta-juta bintang bertaburan di langit dilengkapi dengan gemerlapnya
lampu warna-warni yang terpancar dari layang-layang. Suasana malam hari di
langit desa begitu indah dan menawan.
Layang-layang diterbangkan
mulai malam hari dan akan diturunkan pada pagi hari sebelum azan subuh
berkumandang. Bapak-bapak dan anak mereka biasa menerbangkan layang-layang di
malam hari dan menungguinya sampai pukul sembilan malam. Setelah itu, benang
layang-layang mereka tancapkan di tanah atau di talikan pada pohon. Lalu,
mereka meninggalkan layang-layang mereka di tanah lapang.
Semua orang pun
beristirahat di rumahnya masing-masing. Suara layang-layang di malam hari yang
diterpa angin memenuhi angkasa. “weng...weng...weng...,” suara layang-layang
tersebut mengantar semua warga ke peraduannya. Tinggallah angin dan layang-layang
yang bersorak sore di angkasa desa Kepoh. Tidak ada lagi suara anak kecil
tertawa, Ibu bercanda, dan Bapak berbincang-bincang. Semua warga telah sibuk
dengan mimpi mereka masing-masing. LaHanya suara Jangkrik yang tersisa bersama
angin malam yang berhembus semakin kencang menerpa tubuh layang-layang. Sebelum
pagi datang, layang-layang tetap membumbung tinggi di langit desa Kepoh.