Cari Blog Ini

Rabu, 09 November 2016

Cerpen Anak Terbanglah Layang-layang

Terbanglah Layang-layang
Matahari sudah mencapai puncaknya, panasnya pun tiada lagi terkira. Apalagi sekarang ini sudah memasuki musim kemarau. Namun, panasnya sinar Matahari di siang ini tidak menghalangi Dika dan Purnomo bermain layang-layang. Dika dan Purnomo biasa bermain layang-layang di tanah lapang. Tanah lapang tempat mereka bermain merupakan tanah milik desa, sehingga mereka bebas bermain di sana. Dika dan Purnomo adalah sahabat karib. Purnomo lebih muda dari Dika. Dika sekarang sudah kelas 6 SD, sedangkan Purnomo kelas 5 SD. Meskipun tidak satu kelas, tetapi mereka senang bermain bersama.
Siang ini mereka bermain layang-layang. Purnomo bertugas menerbangkan layang-layang, Ia mengambil jarak agak jauh dari Dika. Sedangkan, Dika bertugas sebagai penarik layang-layang. Purnomo sudah memegang dan bersiap-siap akan menerbangkan layang-layang milik Dika. Ketika sudah siap, Purnomo mengatakan “Dul...dul...” dan melepaskan layang-layang. Lalu, Dika segera menarik layang-layang yang telah dilepaskan Purnomo. Dika menarik layang-layang sambil berlari sampai layang-layangnya terbang di angkasa. Akhirnya, dengan susah payah Dika dapat menerbangkan layang-layangnya di angkasa. Dika dan Purnomo pun tertawa riang melihat layang-layang Dika yang telah membumbung tinggi di angkasa raya. Teriknya sinar Matahari di siang ini seolah tidak dirasakan oleh mereka. Tampak sekali peluh berjatuhan membasahi tubuh mereka. Namun, mereka tetap tertawa dan tidak memedulikannya.
Dika pun mengulur benang layang-layang miliknya semakin panjang, sehingga layang-layang yang tadinya masih terlihat besar sekarang telah terlihat semakin kecil. Karena layang-layang tersebut semakin tinggi sehingga jauh dari pandangan mata dan tampak sangat kecil. Angin yang berhembus membuat layang-layang milik Dika tetap membumbung tinggi di angkasa.
Ternyata, tidak hanya Dika dan Purnomo yang bermain layang-layang di tanah lapang. Ada juga Revan dan Rozak yang juga berusaha menerbangkan layang-layangnya di seberang mereka. Tampak berkali-kali Revan dan Rozak akan menerbangkan layang-layang tetapi selalu terjatuh. Karena angin yang berhembus di bawah kurang kuat untuk menerbangkan layang-layang milik Rozak. Namun, Revan dan Rozak terus berusaha meskipun berkali-kali layang-layang tersebut jatuh.
Melihat dua temannya kesusahan, Dika menyuruh Purnomo membantu Revan dan Rozak. Sementara itu, Dika memegang benang layang-layang miliknya dengan erat. Purnomo membantu Rozak menerbangkan layang-layang milik Rozak. Beberapa kali layang-layang Rozak terjatuh. Namun, Purnomo dan Rozak tetap berusaha menerbangkannya. Revan memperkirakan arah angin dengan baik. Kemudian, Revan memberitahukan arah angin yang baik untuk menerbangkan layang-layang Rozak. Akhirnya, sesudah bersusah payah dan dibantu oleh Purnomo layang-layang milik Rozak dapat terbang di angkasa seperti milik Dika. Sekarang layang-layang Rozak perlahan terbang untuk menyamai layang-layang milik Dika.
Rozak pun tidak mau kalah, Ia mulai melepas benang layang-layangnya agar terbang semakin tinggi. Ia ingin layang-layang miliknya lebih tinggi dari milik Dika. Perseteruan antara Dika dan Rozak dimulai. Mereka berdua berlomba menerbangkan layang-layang mereka semakin tinggi hingga tampak sangat kecil dari bawah.
Tanpa disadari mereka terus melepaskan benang layang-layang semakin banyak. Sementara itu, angin di atas sana semakin kencang menerpa layang-layang milik Dika dan Rozak. Purnomo dan Revan berusaha membantu memegang tali benang layang-layang milik Dika dan Rozak agar tidak terbawa angin.
Kedua layang-layang itu pun membumbung tinggi di angkasa raya. Sementara itu, angin di atas sana semakin kencang. Angin di bawah pun juga semakin kencang, sehingga mereka sangat kewalahan. Dika dan Rozak berusaha mempertahankan layang-layang milik mereka. Revan juga panik dan memberikan usul agar Dika dan Rozak menurunkan layang-layang mereka. Sebab angin di atas dan di bawah semakin kencang. Karena angin yang berhembus kencang dapat membuat layang-layang mereka putus. “Hei, turunkan saja layang-layangnya !”, seru Revan. “Ah...seru ini, tambah enak anginnya semakin kencang,” kata Dika. “Iya, lihat tambah bagus kalau anginnya kencang jadi tidak terjatuh layang-layangnya,” tambah Purnomo. “ Tapi, nanti kalau benangnya terputus bagaimana?”, kata Rozak. “Tidak mungkin, benangnya sangat kuat Zak,” kata Dika. “Sudah Zak, lebih baik turunkan sedikit saja biar nanti mudah kalau misalnya benangnya terputus,” usul Revan pada Rozak. “Baiklah kalau begitu Van,” kata Rozak. Lalu, Rozak pun menurunkan sedikit demi sedikit layangannya dan tetap terbang di angkasa.
Sekarang tinggal layang-layang Dika yang paling tinggi. Dika dan Purnomo sangat bangga, karena sekarang layang-layang merekalah yang paling tinggi. Meskipun terkadang angin berhembus kencang, tetapi Dika dengan dibantu Purnomo dapat mempertahankan layang-layangnya. Rozak dan Revan menerbangkan layang-layangnya pada titik rendah saja, karena takut angin berhembus kencang dan membawa layang-layangnya.
Layang-layang milik Dika masih berada di titik paling tinggi dibandingkan layang-layang milik Rozak. Layang-layang Dika tampak seperti menikmati ketinggiannya di angkasa raya dengan tenang. Angin bertiup sepoi-sepoi menemani hari beranjak dari siang menuju sore. Keempat anak tersebut masih betah bermain layang-layang di tanah lapang.
Tidak terasa hari semakin sore. Banyak anak-anak kecil mulai berdatangan  ke tanah lapang. Ada anak kecil baik laki-laki maupun perempuan. Mereka  bermain kejar-kejaran di tanah lapang milik desa mereka tersebut. Anak-anak yang lain juga tampak sedang bermain sepak bola. Ada juga pemuda-pemudi di sisi lain dari tanah lapang ini mulai berdatangan untuk bermain volly di lapangan volly yang terletak di sudut dari tanah lapang desa ini. Setiap hari suasana sore hari di tanah lapang di desa Dika selalu ramai.
Di sisi lain dari tanah lapang di desa ini empat anak yaitu, Dika, Purnomo, Revan, dan Rozak masih asyik bermain layang-layang. Angin yang bertiup di sore hari semakin kencang. Tanpa disadari oleh Dika, ternyata benang layang-layang Dika semakin tipis di atas angkasa karena terombang-ambing oleh gerakan layang-layang. Sebab, angin yang bertiup bertambah kencang. Tidak berapa lama kemudian, layang-layang milik Dika benangnya terputus. Layang-layang Dika pun terbang mengikuti angin yang berhembus semakin kencang. Angin tersebut entah akan membawa layang-layang milik Dika ke arah mana.
Dika sangat panik melihat layang-layang miliknya putus. Tanpa memedulikan keadaan sekitar, Ia berlari mengikuti layang-layangnya yang putus. Ia terus berlari sambil sesekali melihat ke atas untuk melacak ke arah mana terbangnya layang-layang miliknya. Melihat temannya berlari mengejar layang-layang, Purnomo mengikutinya. Sementara itu, Rozak dan Revan segera menurunkan layang-layang milik Rozak. Setelah berhasil menurunkan layang-layang, Rozak dan Revan segera menyusul Dika dan Purnomo.
Dika dan Purnomo sudah berlari jauh mengejar layang-layang milik Dika. Rozak dan Revan berlari mengikuti Dika dan Purnomo. Layang-layang milik Dika terbang semakin jauh dari tanah lapang. Layng-layang tersebut terbang ke arah persawahan yang terletak di luar desa Dika. Keempat bocah tersebut terus berlari mengejar layang-layang putus tersebut.
Tampak sekali layang-layang milik Dika itu semakin oleng, karena angin yang berhembus mulai tidak stabil. Seolah-olah layang-layang itu seperti kapal laut yang sedang terombang-ambing di tengah lautan yang sedang badai. Angin yang berhembus semakin tidak ada ketika keempat bocah tadi sampai di tengah-tengah persawahan.
Layang-layang Dika meliuk-liuk di angkasa dan akan segera jatuh. Tidak jauh dari layang-layang yang akan jatuh itu ada sebuah pohon Klampis. Pohon Kalmpis ini ada di persawahan di luar desa, biasanya di pohon ini ada sarang burung bangau. “weng....weng...wweng...” suara layang-layang milik Dika semakin keras. Ini menandakan layang-layang Dika akan segera mendarat ke bumi. “weng....weng...weng...srtt..,” layang-layang Dika jatuh dan tersangkut di pohon Klampis.
Dika, Purnomo, Revan, Dan Rozak terlihat terengah-engah karena telah berlari jauh demi mengejar layang-layang milik Dika. Akhirnya layang-layang itu berhenti terbang dan tersangkut di pohon Klampis. Mereka berhenti sejenak untuk mengatur napasnya yang tidak teratur.
Setelah itu, mereka mendongak ke atas untuk melihat layang-layang Dika yang tersangkut di pohon. Dika tampak sedang berpikir. Dika tidak langsung memanjat ke pohon Klampis itu untuk mengambil layang-layangnya. Teman-teman Dika juga tidak ada yang berani memanjat pohon tersebut. Bukan karena mereka takut dengan burung bangau atau semut yang ada di pohon. Alasan mereka tidak berani memanjat pohon Klampis karena pohon ini penuh dengan duri. Jadi, tidak satu pun dari mereka yang berani memanjat pohon tersebut.
Purnomo mencoba mencari-cari sesuatu di sekitarnya. Tampak sebuah tongkat agak panjang tergeletak tidak jauh darinya. Kemudian, Purnomo mengambil tongkat tersebut. Tongkat itu digunakan oleh Purnomo untuk mengambil layang-layang milik Dika. Purnomo susah payah ingin menggapai layang-layang temannya itu dengan tongkat yang Ia bawa. Purnomo tetap tidak bisa menggapai layang-layang itu, sebab tongkatnya kurang panjang.
“ Ayo, naik di punggungku saja Pur,” usul Rozak pada Purnomo. Purnomo menerima usulan dari Rozak. Purnomo segera naik ke punggung Rozak. Purnomo berusaha mengambil layang-layang Dika dengan bantuan tongkat yang ada di tangannya. Layang-layang milik Dika pun jatuh ke tanah. Keadaannya sangat buruk, banyak bagian yang sobek dari tubuh layang-layang.
Dika tampak sedih melihat layang-layang miliknya yang rusak. Dika segera mengambil layang-layangnya dan membolak-baliknya. Ada bagian layang-layang yang patah, kertasnya banyak yang sobek, dan bentuknya sudah tidak bagus lagi. Revan memandangi Dika yang terlihat sangat sedih. Revan sangat kasihan kepada Dika.
Revan menghibur Dika agar tidak bersedih. “Sudah Dik, tidak perlu bersedih. Nanti, kita perbaiki layang-layang ini,” kata Revan. “Betul itu Van, kalau perlu kita buat lagi yang baru dan bagus,” usul Purnomo. “Itu ide yang bagus Pur, tapi aku sangat menyukai layang-layangku ini,” kata Dika. “Ya sudah, kalau begitu nanti malam kita perbaiki saja bersama-sama...,” ajak Purnomo. “Boleh juga usulmu Pur, tapi sekarang Ayo kita pulang dulu, langit sudah mulai gelap,” kata Rozak kemudian.
Akhirnya, mereka berempat pulang ke rumah masing-masing dan segera mandi. Tidak lama kemudian, azan magrib berkumandang dari masjid. Warga segera menuju ke masjid desa untuk melaksanakan salat berjamaah. Warga memiliki banyak waktu salat berjamaah di masjid desa pada malam hari, karena pada siang hari banyak warga yang masih bekerja. Kalau siang hari warga desa jarang salat secara berjamaah.
Dika, Purnomo, Rozak, dan Revan juga salat berjamaah di masjid. Setelah selasai salat berjamaah, mereka berkumpul untuk memperbaiki layang-layang Dika. Mereka segera menuju rumah Dika. Dika mengambil segala keperluan untuk memperbaiki layang-layang miliknya. Adapun alat dan bahan yang diambil Dika yaitu, golok, pisau, lem, kertas layang-layang, tali/benang, dan sebilah bambu.
Alat dan bahan untuk memperbaiki kayangan sudah tersedia. Dika dengan dibantu Purnomo, Rozak, dan Revan pun segera memperbaikinya. Purnomo mengambil golok dan sebilah bambu untuk dipotong menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Sementara itu, Dika membantu Purnomo untuk membersihkan bagian-bagian kecil yang telah dipotong, agar sesuai dengan bagian layang-layang yang telah rusak. Setelah potongan bambu dibersihkan, Rozak mengotak-atik bambu tersebut. Ia mencoba membuat bambu tersebut melengkung agar sesuai dengan rangka badan layang-layang yang rusak. Setelah dianggap sesuai, segera bagian yang rusak diganti dengan yang baru dan disatukan dengan tali. Revan membuat pola dari kertas layang-layang. Ia membuatnya sesuai dengan bentuk badan layang-layang dan mengguntingnya.
Dika mengambil pola yang telah digunting oleh Revan. Dika meletakkan pola tersebut pada bagian layang-layang yang kertasnya sudah sobek. Ia segera merekatkan pola ke badan layang-layang dengan lem. Setelah itu, Dika mencoba menerbangkan layang-layangnya. Dika mengangkat layang-layangnya setinggi badan dan menggerakkannya ke depan dan ke belakang. Jika dirasa sudah mantap dan seimbang, maka layang-layang bisa diterbangkan lagi.
Permainan layang-layang di desa tempat Dika tinggal dapat dimainkan saat siang maupun malam hari. Saat siang hari, permainan layang-layang banyak dimainkan oleh anak-anak. Saat malam hari, biasanya Bapak-bapaklah yang bermain layang-layang. Agar layang-layang terlihat pada malam hari, maka dipasang lampu warna-warni di tubuh layang-layang. Lampu tersebut dapat menyala karena ada baterai yang diletakkan pada rangka tubuh layang-layang.
Dika berencana untuk mencoba layang-layangnya yang sudah diperbaiki di malam hari ini. Untuk itu, Dika dan teman-temannya memasangkan lampu mengelilingi rangka tubuh layang-layang. Selain itu, Dika tidak lupa memasang baterai agar lampu dapat menyala. Sebelu diterbangkan, lampu dicoba terlebih dahulu dengan menyalurkan kabel lampu ke baterai.
Perlu diperhatikan dengan baik ketika hendak menyambungkan kabel lampu ke baterai. Hal ini harus dilakukan dengan benar lampu dapat menyala. Pertama, Dika mencoba menyambungkan kabel lampu pada kutub baterai. Hasilnya, lampu tidak dapat menyala karena sambungannya salah. Seharusnya kutub negatif lampu dipasangkan dengan kutub positif baterai. Sedangkan, kutub positif lampu dipasangkan dengan kutub negatif baterai. Setelah itu, lampu dapat menyala dan Dika merasa senang.
Dika, Purnomo, Rozak, dan Revan bergegas menuju tanah lapang desa. Di sana sudah ada Bapak-bapak yang menerbangkan beberapa layang-layang. Tampak di atas lampu warna-warni yang muncul dari tubuh layang-layang. Dika juga tidak mau ketinggalan. Ia meminta Purnomo agar membantunya untuk menerbangkan layang-layang miliknya. Purnomo segera membawa lari layang-layang Dika ke sudut tanah lapang. Purnomo juga menyalakan lampu yang ada di layang-layang Dika, sehingga saat diterbangkan nanti dapat menyala dengan bagus. Di sudut yang lain, Dika memegang benang layang-layangnya. Dari kejauhan Purnomo sudah siap, Ia segera memberikan aba-aba kepada Dika. “satu, dua, tiga,...Dul,” kata Purnomo memberi aba-aba. “Dul...,” sahut Dika secara bersamaan dengan Purnomo.
Tidak lama setelah itu, layang-layang Dika membumbung di angkasa. Dika terus mempertahankan layang-layangnya agar tetap bertahan di angkasa. Ketika angin sudah dirasakan cukup menguntungkan, Dika segera melepaskan benangnya lebih banyak agar terbang lebih tinggi lagi. Dari bawah terlihat apu warna-warni terpancar dari layang-layang yang sedang mengudara di langit desa. layang-layang Dika memiliki lampu dengan perpaduan dua warna, yaitu biru dan merah. Ada juga layang-layang milik Pak Devin dengan lampu berwarna merah dan putih. Selain itu, ada banyak lagi layang-layang milik Pak Supadi, Pak Karim, Pak Laidi, dan Pak Lutfi.
Sebenarnya, tidak hanya di tanah lapang desa saja tempat menerbangkan layang-layang. Terkadang ada juga yang menerbangkan di persawahan dekat rumah warga. Tanah lapang desa tempat Dika dan teman-temannya menerbangkan layang-layang merupakan pusat desa. Pusat desa menjadi tempat pemerintahan sebuah desa.
Sebuah desa tentu terbagi ke dalam beberapa dukuh. Setiap dukuh memiliki tanah lapang selain tanah lapang yang ada di pusat desa. Tanah lapang yang paling besar terletak di pusat desa tempat Dika dan teman-temannya bermain layang-layang. Pedesaan tempat Dika tinggal terdiri dari kurang lebih 6.000 penduduk. Banyak rumah di desa ini memiliki halaman begitu luas, sehingga antara rumah satu dengan yang lainnya memiliki jarak yang lebar.
Selain itu, setiap dukuh di desa tempat Dika tinggal memiliki wilayah sendiri-sendiri. Jarak antara dukuh satu dengan yang lainnya sangat jelas. Karena, setiap dukuh di desa ini di kelilingi oleh pepohonan bambu yang begitu rindang. Ada pula persawahan yang memisahkan setiap dukuh, sehingga sangat jelas batas wilayah setiap dukuh di desa ini.
Jadi, tidak hanya di tanah lapang desa saja ada orang yang menerbangkan layang-layang pada malam hari. Warga desa yang dukuhnya berbeda pun juga menerbangkan layang-layang pada malam hari. Layang-layang dengan lampu warna-warni terlihat dari tanah lapang desa, lampu itu terlihat di sebelah timur. Layang-layang yang terlihat di sebelah timur tersebut sepertinya berasal dari dukuh Ketan yang merupakan bagian dari desa Kepoh. Layang-layang di sebelah selatan terletak di dukuh Jambe, juga merupakan dukuh dari desa Kepoh. Layang-layang juga ada yang terletak di sebelah barat yaitu di dukuh Ngampon.
Setiap malam di musim kemarau banyak warga memiliki hobi membuat dan menerbangkan layang-layang. Layang-layang tersebut diterbangkan pada musim kemarau sebab pada musim inilah angin berhembus kencang. Angin kencang dibutuhkan untuk menerbangkan layang-layang.
Warga yang tidak menerbangkan layang-layang setiap malam di luar rumah untuk memandangi langit. Tampak berjuta-juta bintang bertaburan di langit dilengkapi dengan gemerlapnya lampu warna-warni yang terpancar dari layang-layang. Suasana malam hari di langit desa begitu indah dan menawan.
Layang-layang diterbangkan mulai malam hari dan akan diturunkan pada pagi hari sebelum azan subuh berkumandang. Bapak-bapak dan anak mereka biasa menerbangkan layang-layang di malam hari dan menungguinya sampai pukul sembilan malam. Setelah itu, benang layang-layang mereka tancapkan di tanah atau di talikan pada pohon. Lalu, mereka meninggalkan layang-layang mereka di tanah lapang.
Semua orang pun beristirahat di rumahnya masing-masing. Suara layang-layang di malam hari yang diterpa angin memenuhi angkasa. “weng...weng...weng...,” suara layang-layang tersebut mengantar semua warga ke peraduannya. Tinggallah angin dan layang-layang yang bersorak sore di angkasa desa Kepoh. Tidak ada lagi suara anak kecil tertawa, Ibu bercanda, dan Bapak berbincang-bincang. Semua warga telah sibuk dengan mimpi mereka masing-masing. LaHanya suara Jangkrik yang tersisa bersama angin malam yang berhembus semakin kencang menerpa tubuh layang-layang. Sebelum pagi datang, layang-layang tetap membumbung tinggi di langit desa Kepoh.


          

Analisis unsur Latar pada Cerpen Clara Atawa Wanita yang Diperkosa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Cerpen adalah karangan pendek yang berbentuk prosa. Dalam cerpen dikisahkan sepenggal kehidupan tokoh, yang penuh pertikaian, peristiwa yang mengharukan atau menyenangkan, dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan.
Menurut kamus, cerita pendek adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang, seperti novelia (dalam pengertian modern) dan novel. Karena singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang.
Sebuah karya sastra yaitu cerpen dapat tercipta karena ada unsur yang membangunnya. Unsur-unsur yang membangun cerpen seperti unsur yang ada pada karya sastra umum lainnya. Adapun unsur itu adalah intrinsik dan ekstrinsik.
Pada makalah ini akan dibahas unsur intrinsik dalam sebuah cerpen karya Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Clara. Unsur intrinsik yang ingin ditelaah pada makalah ini adalah unsur latar.
B. Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan cerpen?
2.      Apa saja unsur intrinsik dalam cerpen?
3.      Bagaimana hasil analisis unsur intrinsik latar pada cerpen Clara?


C. Tujuan
            Adapun tujuan yang diharapkan penulis dalam makalah ini adalah:
1.      Menjelaskan pengertian cerpen.
2.      Menjelaskan unsur intrinsik dalam cerpen.
3.      Menjelaskan hasil analisis unsur intrinsik latar pada cerpen Clara.



















BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Cerpen
            Cerpen adalah karangan pendek yang berbentuk prosa. Dalam cerpen dipisahkan sepenggal kehidupan tokoh, yang penuh pertikaian, peristiwa yang mengharukan atau menyenangkan, dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan.
Menurut kamus, cerita pendek adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang, seperti novelia (dalam pengertian modern) dan novel. Karena singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang. Ceritanya bisa dalam berbagai jenis.
Cerita pendek apabila diuraikan menurut kata yang membentuknya berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut : cerita artinya tuturan yang membentang bagaimana terjadinya suatu hal, sedangkan pendek berarti kisah pendek (kurang dari 10.000 kata ) yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam situasi atau suatu ketika.
Menurut Susantocerita pendek adalah cerita yang panjangnya sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi rangkap yang terpusat dan lengkap pada dirinya sendiri. Sementara itu, Sumardjo dan Saini mengatakan bahwa cerita pendek adalah cerita atau parasi ( bukan analisis argumentatif ) yang fiktif ( tidak benar-benar terjadi tetapi dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, serta relatif pendek ).
Dari beberapa pendapat di atas dapat dsimpulkan bahwa yang dimaksud dengan cerita pendek adalah karangan nasihat yang bersifat fiktif yang menceritakan suatu peristiwa dalam kehidupan pelakunya yang relatif singkat tetapi padat.
B. Unsur Intrinsik Cerpen
            Unsur intrinsik cerpen terdiri dari tema, tokoh atau penokohan, alur cerita, latar, gaya bahasa, sudut pandang dan amanat. Berikut penjelasannya:
1.      Tema
Tema adalah ruh atau nyawa dari setiap karya cerpen itu sendiri. Tema inilah yang akan menentukan konflik dan menjadi ide dasar pengembangan dari seluruh isi cerita pendek. Tema memiliki sifat umum dan general. Seperti contoh; Pendidikan, romansa, persahabatan dan lain-lain.
2.      Tokoh dan Penokohan
Tokoh dan penokohan adalah dua hal yang berbeda dalam penulisan cerpen. Tokoh merupakan pemain atau orang-orang yang terlibat di dalam cerita tersebut. Sedangkan penokohan adalah penentuan watak atau sifat tokoh yang ada di dalam cerita.
Ada 3 jenis tokoh yang ditampilkan di dalam cerpen, diantaranya:
Antagonis: Tokoh yang biasanya berperan sebagai tokoh jahat. Tokoh ini akan terlibat konflik  dengan sang tokoh utama di dalam cerita. Tokoh antagonis memiliki watak yang negatif seperti: sombong, angkuh, jahat dan lain-lain.
Protagonis: Tokoh ini adalah tokoh yang membintangi cerpen tersebut (tokoh utama) tokoh ini biasanya berprilaku baik.
Tritagonis: Tokoh ini merupakan tokoh pembantu protagonis dan yang nantinya akan menjadi penengah konflik antara antagonis dan protagonis. Tokoh ini biasanya memiliki sifat penolong dan bijaksana.
3.      Alur (Plot)
Alur adalah urutan jalan cerita dalam cerpen yang di sampaikan oleh penulis. Dalam menyampaikan cerita, ada tahapan-tahapan alur yang disampaikan oleh sang penulis. Diantaranya:
1.      Tahap perkenalan.
2.      Tahap penanjakan.
3.      Tahap klimaks.
4.      Anti klimaks
4.      Latar
Latar mengacu pada suasana, waktu dan tempat terjadinya cerita tersebut. Latar akan memberikan kesan konkret pada suatu cerita pendek. Ada 3 jenis latar dalam sebuah cerpen yakni latar waktu, tempat dan suasana.
5.      Sudut Pandang
Sudut pandang adalah strategi yang digunakan oleh pengarang cerpen untuk menyampaikan ceritanya. Entah itu sebagai orang pertama, kedua, ketiga. Bahkan ada beberapa penulis yang menggunakan sudut pandang orang yang berada di luar cerita.
6.      Gaya bahasa
Gaya bahasa adalah ciri khas sang penulis dalam menyampaikan tulisanya kepada publik. Entah itu penggunaan diksinya, majas dan pemilihan kalimat yang tepat di dalam cerpennya.
7.      Amanat
Amanat (Moral value) adalah pesan moral yang bisa kita ambil dari cerita tersebut. Di dalam sebuah cerpen, moral biasanya tidak disebutkan secara tertulis melainkan tersirat dan akan bergantung pada pemahaman pembaca akan cerita tersebut.

C. Hasil Analisis Latar dalam Cerpen Clara
            1. Cerpen
CLARA atawa Wanita yang Diperkosa
oleh Seno Gumira Ajidarma

Barangkali aku seorang anjing. Barangkali aku seorang babi*) – tapi aku memakai seragam. Kau tidak akan pernah tahu siapa diriku sebenarnya.

Di hadapanku duduk wanita itu. Rambutnya dicat merah. Coklat sebetulnya. Tapi orang-orang menyebutnya merah. Padahal merah punya arti lain bagiku. Sudah bertahun-tahun aku dicekoki pikiran bahwa orang-orang merah adalah orang-orang yang berbahaya.
Jadi, aku tidak perlu percaya kepada wanita ini, yang rambutnya sengaja dicat merah. Barangkali isi kepalanya juga merah. Barangkali hatinya juga merah. Siapa tahu? Aku tidak perlu percaya kepada kata- kata wanita ini, meski ceritanya sendiri dengan jujur kuakui lumayan mengharukan.
Dia bercerita dengan bahasa yang tidak mungkin dimengerti. Bukan karena bahasa Indonesianya kurang bagus, karena bahasa itu sangat dikuasainya, tapi karena apa yang dialami dan dirasakannya seolah- olah tidak terkalimatkan. Wajahnya yang cantik sarat dengan luka batin yang tak terbayangkan. Aku hampir-hampir terharu bahkan sebelum dia bercerita. Tidak pernah bisa kubayangkan bahwa manusia bisa mengalami beban penderitaan seberat itu justru karena dia lahir sebagai manusia. Ceritanya terpatah-patah. Kalimatnya tidak nyambung.
Kata-kata bertebaran tak terangkai sehingga aku harus menyambung-nyambungnya sendiri. Beban penderitaan macam apakah yang bisa dialami manusia sehingga membuatnya tak mampu berkata-kata?
Maka cerita yang akan kau dengar ini bukanlah kalimatnya melainkan kalimatku. Sudah bertahun-tahun aku bertugas sebagai pembuat laporan dan hampir semua laporan itu tidak pernah sama dengan kenyataan. Aku sudah menjadi sangat ahli menyulap kenyataan yang pahit menjadi menyenangkan, dan sebaliknya perbuatan yang sebetulnya patriotik menjadi subversif — pokoknya selalu disesuaikan dengan kebutuhan.
Maka, kalau cuma menyambung kalimat yang terputus-putus karena penderitaan, bagiku sungguh pekerjaan yang ringan.
***
Api sudah berkobar di mana-mana ketika mobil BMW saya melaju di jalan tol. Saya menerima telepon dari rumah. ”Jangan pulang,” kata Mama. Dia bilang kompleks perumahan sudah dikepung, rumah-rumah tetangga sudah dijarah dan dibakar. Papa, Mama, Monica, dan Sinta, adik-adikku, terjebak di dalam rumah dan tidak bisa ke mana-mana. ”Jangan pulang, selamatkan diri kamu, pergilah langsung ke Cengkareng, terbang ke Singapore atau Hong Kong. Pokoknya ada tiket. Kamu selalu bawa paspor kan? Tinggalkan mobilnya di tempat parkir. Kalau terpaksa ke Sydney tidak apa-apa. Pokoknya selamat. Di sana kan ada Om dan Tante,” kata Mama lagi.
Saya memang sering ke luar negeri belakangan ini. Pontang-panting mengurusi perusahaan Papa yang nyaris bangkrut karena utangnya dalam dolar tiba-tiba jadi bengkak. Saya ngotot untuk tidak mem-PHK para buruh. Selain kasihan, itu juga hanya akan menimbulkan kerusuhan. Papa marah-marah. ”Kita tidak punya uang untuk membayar buruh. Selain produksi sudah berhenti, yang beli pun kagak ada. Sekarang ini para buruh hidup dari subsidi perusahaan patungan kita di luar negeri. Mereka pun sudah mencak-mencak profitnya dicomot. Sampai kapan mereka sudi membayar orang-orang yang praktis sudah tidak bekerja?”
Saya masih ngotot. Jadi Papa putuskan sayalah yang harus mengusahakan supaya profit perusahaan patungan kami di Hong Kong, Beijing, dan Macao diperbesar. Tetesannya lumayan untuk menghidupi para buruh, meskipun produksi kami sudah berhenti. Itu sebabnya saya sering mondar-mandir ke luar negeri dan selalu ada paspor di tas saya.
Tapi, kenapa saya harus lari sekarang, sementara keluarga saya terjebak seperti tikus di rumahnya sendiri? Saya melaju lewat jalan tol supaya cepat sampai di rumah. Saya memang mendengar banyak kerusuhan belakangan ini. Demonstrasi mahasiswa dibilang huru-hara. Terus terang saya tidak tahu persis apa yang terjadi. Saya terlalu tenggelam dalam urusan bisnis. Koran cuma saya baca judul-judulnya. Itu pun maknanya tidak pernah jelas. Namun, setidaknya saya yakin pasti bukan mahasiswa yang membakar dan menjarah kompleks perumahan, perkotaan, dan mobil-mobil yang lewat. Bahkan bukan mahasiswa pun sebenarnya tidak ada urusan membakar-bakari rumah orang kalau tidak ada yang sengaja membakar-bakar.
Saya tancap gas. BMW melaju seperti terbang. Di kiri kanan jalan terlihat api menerangi malam. Jalan tol itu sepi, BMW terbang sampai 120 kilometer per jam. Hanya dalam sepuluh menit saya akan segera tiba di rumah. Tapi, di ujung itu saya lihat segerombolan orang. Sukar sekali menghentikan mobil. Apakah saya harus menabraknya? Pejalan kaki tidak dibenarkan berdiri di tengah jalan tol, tapi saya tidak ingin menabraknya. Saya menginjak rem, tidak langsung, karena mobil akan berguling-guling. Sedikit-sedikit saya mengerem, dan toh roda yang menggesek aspal semen itu tetap mengeluarkan bunyi Ciiiiiiitttt! Yang sering dianggap sebagai petanda betapa para pemilik mobil sangat jumawa.
Setelah berhenti, saya lihat ada sekitar 25 orang. Semuanya laki-laki.
”Buka jendela,” kata seseorang.
Saya buka jendela.
”Cina!” ”Cina!” Mereka berteriak seperti menemukan intan berlian.
Belum sempat berpikir, kaca depan BMW itu sudah hancur karena gebukan. Aduh, benarkah sebegitu bencinya orang-orang ini kepada Cina? Saya memang keturunan Cina, tapi apa salah saya dengan lahir sebagai Cina?
”Saya orang Indonesia,” kata saya dengan gemetar.
Braakk! Kap mobil digebuk. Seseorang menarik saya dengan kasar lewat jendela. Saya dilempar seperti karung dan terhempas di jalan tol.
”Sialan! Mata lu sipit begitu ngaku-ngaku orang Indonesia!” Pipi saya menempel di permukaan bergurat jalan tol. Saya melihat kaki-kaki lusuh dan berdaki yang mengenakan sandal jepit, sebagian tidak beralas kaki, hanya satu yang memakai sepatu. Kaki-kaki mereka berdaki dan penuh dengan lumpur yang sudah mengering.
”Berdiri!” Saya berdiri, hampir jatuh karena sepatu uleg saya yang tinggi. Saya melihat seseorang melongok ke dalam mobil. Membuka-buka laci dashboard, lantas mengambil tas saya. Isinya ditumpahkan ke jalan. Berjatuhanlah dompet, bedak, cermin, sikat alis, sikat bulu mata, lipstik, HP, dan bekas tiket bioskop yang saya pakai nonton bersama pacar saya kemarin. Dompetnya segera diambil, uangnya langsung dibagi-bagi setengah rebutan. Sejuta rupiah uang cash amblas dalam sekejap. Tidak apa-apa. Mobil masih bisa dikendarai dengan kaca pecah, dan saya tidak perlu uang cash. Di dalam dompet ada foto pacar saya. Orang yang mengambil dompet tadi mengeluarkan foto itu, lantas mendekati saya.
”Kamu pernah sama dia?”
Saya diam saja. Apa pun maksudnya saya tidak perlu menjawabnya.
Plak! Saya ditampar. Bibir saya perih. Barangkali pecah.
”Jawab! Pernah kan? Cina-cina kan tidak punya agama!” Saya tidak perlu menjawab.
Bug! Saya ditempeleng sampai jatuh.
Seseorang yang lain ikut melongok foto itu.
”Huh! Pacarnya orang Jawa!” Saya teringat pacar saya. Saya tidak pernah peduli dia Jawa atau Cina, saya cuma tahu cinta.
”Periksa! Masih perawan atau tidak dia!” Tangan saya secara refleks bergerak memegang rok span saya, tapi tangan saya tidak bisa bergerak. Ternyata sudah ada dua orang yang masing-masing memegangi tangan kanan dan tangan kiri saya. Terasa rok saya ditarik. Saya menyepak-nyepak. Lagi-lagi dua pasang tangan menangkap kedua kaki saya.
”Aaaahhh! Tolongngng!” Saya menjerit. Mulut saya dibungkam telapak kaki berdaki. Wajah orang yang menginjak mulut saya itu nampak dingin sekali. Berpuluh-puluh tangan menggerayangi dan meremas-remas tubuh saya.
”Diem lu Cina!” Rok saya sudah lolos….
***
Wanita itu menangis. Mestinya aku terharu. Mestinya. Setidaknya aku bisa terharu kalau membaca roman picisan yang dijual di pinggir jalan. Tapi, menjadi terharu tidak baik untuk seorang petugas seperti aku. Aku harus mencatat dengan rinci, objektif, deskriptif, masih ditambah mencari tahu jangan-jangan ada maksud lain di belakangnya. Aku tidak boleh langsung percaya, aku harus curiga, sibuk menduga kemungkinan, sibuk menjebak, memancing, dan membuatnya lelah supaya cepat mengaku apa maksudnya yang sebenarnya. Jangan terlalu cepat percaya kepada perasaan. Perasaan bisa menipu. Perasaan itu subjektif. Sedangkan aku bukan subjek di sini. Aku cuma alat. Aku cuma robot. Taik kucing dengan hati nurani. Aku hanya petugas yang membuat laporan, dan sebuah laporan harus sangat terinci bukan?
”Setelah celana dalam kamu dicopot, apa yang terjadi?”
Dia menangis lagi. Tapi masih bercerita dengan terputus-putus. Ternyata susah sekali menyambung-nyambung cerita wanita ini. Bukan hanya menangis. Kadang-kadang dia pingsan. Apa boleh buat, aku harus terus bertanya.
”Saya harus tahu apa yang terjadi setelah celana dalam dicopot, kalau kamu tidak bilang, apa yang harus saya tulis dalam laporan?”
***
Saya tidak tahu berapa lama saya pingsan. Waktu saya membuka mata, saya hanya melihat bintang-bintang. Di tengah semesta yang begini luas, siapa yang peduli kepada nasib saya? Saya masih terkapar di jalan tol. Angin malam yang basah bertiup membawa bau sangit. Saya menengok dan melihat BMW saya sudah terbakar. Rasanya baru sekarang saya melihat api dengan keindahan yang hanya mewakili bencana. Isi tas saya masih berantakan seperti semula. Saya melihat lampu HP saya berkedip-kedip cepat, tanda ada seseorang meninggalkan pesan.
Saya mau beranjak, tapi tiba-tiba selangkangan saya terasa sangat perih. Bagaikan ada tombak dihunjamkan di antara kedua paha saya. O, betapa pedihnya hati saya tidak bisa saya ungkapkan. Saya tidak punya kata-kata untuk itu. Saya tidak punya bahasa. Saya hanya tahu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris untuk urusan bisnis. Kata orang, bahasa Cina sangat kaya dalam hal menggambarkan perasaan, tapi saya tidak bisa bahasa Cina sama sekali dari dialek manapun, kecuali yang ada hubungannya dengan harga-harga. Saya cuma seorang wanita Cina yang lahir di Jakarta dan sejak kecil tenggelam dalam urusan dagang. Saya bukan ahli bahasa, bukan pula penyair. Saya tidak tahu apakah di dalam kamus besar Bahasa Indonesia ada kata yang bisa mengungkapkan rasa sakit, rasa terhina, rasa pahit, dan rasa terlecehkan yang dialami seorang wanita yang diperkosa bergiliran oleh banyak orang –karena dia seorang wanita Cina. Sedangkan pacar saya saja begitu hati-hati bahkan hanya untuk mencium bibir saya. Selangkangan saya sakit, tapi saya tahu itu akan segera sembuh. Luka hati saya, apakah harus saya bawa sampai mati? Siapakah kiranya yang akan membela kami? Benarkah kami dilahirkan hanya untuk dibenci?
Saya tidak bisa bergerak sampai seorang ibu tua datang terbungkuk-bungkuk. Dia segera menutupi tubuh saya dengan kain.
”Maafkan anak-anak kami,” katanya, ”mereka memang benci dengan Cina.”
Saya tidak sempat memikirkan arti kalimat itu. Saya bungkus tubuh saya dengan kain, dan tertatih-tatih menuju tempat di mana isi tas saya berserakan. Saya ambil HP saya, dan saya dengar pesan Papa: ”Kalau kamu dengar pesan ini, mudah-mudahan kamu sudah sampai di Hong Kong, Sydney, atau paling tidak Singapore. Tabahkanlah hatimu Clara. Kedua adikmu, Monica dan Sinta, telah dilempar ke dalam api setelah diperkosa. Mama juga diperkosa, lantas bunuh diri, melompat dari lantai empat. Barangkali Papa akan menyusul juga. Papa tidak tahu apakah hidup ini masih berguna. Rasanya Papa ingin mati saja.”
***
Dia menangis lagi. Tanpa airmata. Kemudian pingsan. Kudiamkan saja dia tergeletak di kursi. Ia hanya mengenakan kain. Seorang ibu tua yang rumahnya berada di kampung di tepi jalan tol telah menolongnya. ”Dia terkapar telanjang di tepi jalan,” kata ibu tua itu. Aku sudah melaporkan soal ini kepada pimpinanku. Lewat telepon dia berteriak, ”Satu lagi! Hari ini banyak sekali perkara beginian.
Tahan dia di situ. Jangan sampai ada yang tahu. Terutama jangan sampai ketahuan wartawan dan LSM!” Pesuruh kantor membaukan PPO ke hidungnya. Matanya melek kembali.
”Jadi kamu mau bilang kamu itu diperkosa?”
Dia menatapku.
”Padahal kamu bilang tadi, kamu langsung pingsan setelah … apa itu … rok kamu dicopot?”
Dia menatapku dengan wajah tak percaya.
”Bagaimana bisa dibuktikan bahwa banyak orang memperkosa kamu?”
Kulihat di matanya suatu perasaan yang tidak mungkin dibahasakan. Bibirnya menganga. Memang pecah karena terpukul. Tapi itu bukan berarti wanita ini tidak menarik. Pastilah dia seorang wanita yang kaya. Mobilnya saja BMW. Seorang wanita eksekutif. Aku juga ingin kaya, tapi meskipun sudah memeras dan menerima sogokan di sana-sini, tetap begini-begini saja dan tidak pernah bisa kaya. Naik BMW saja aku belum pernah. Aku memang punya sentimen kepada orang-orang kaya –apalagi kalau dia Cina. Aku benci sekali. Yeah. Kainnya melorot, dan tampaklah bahunya yang putih….
”Jangan terlalu mudah menyebarkan isyu diperkosa. Perkosaan itu paling sulit dibuktikan. Salah-salah kamu dianggap menyebarkan fitnah.”
Di matanya kemarahan terpancar sekejap. Bahwa dia punya nyali untuk bercerita, memang menunjukkan dia wanita yang tegar.
”Saya mau pulang,” ia berdiri. Ia hanya mengenakan kain yang menggantung di bahu. Kain itu panjangnya tanggung, kakinya yang begitu putih dan mulus nampak telanjang.
”Kamu tidur saja di situ. Di luar masih rusuh, toko-toko dibakar, dan banyak perempuan Cina diperkosa.”
”Tidak, saya mau pulang.”
”Siapa mau mengantar kamu dalam kerusuhan begini. Apa kamu mau pulang jalan kaki seperti itu? Sedangkan pos polisi saja di mana-mana dibakar.”
Dia diam saja.
”Tidur di situ,” kutunjuk sebuah bangku panjang, ”besok pagi kamu boleh pulang.”
Kulihat dia melangkah ke sana. Dalam cahaya lampu, lekuk tubuhnya nampak menerawang. Dia sungguh-sungguh cantik dan menarik, meskipun rambutnya dicat warna merah. Rasanya aku juga ingin memperkosanya. Sudah kubilang tadi, barangkali aku seorang anjing, barangkali aku seorang babi — tapi aku mengenakan seragam. Kau tidak akan pernah tahu siapa diriku sebenarnya. Masalahnya: menurut ilmu hewan, katanya binatang pun tidak pernah memperkosa.
Tentu saja tentang yang satu ini tidak perlu kulaporkan kepada pimpinan. Hanya kepadamu aku bisa bercerita dengan jujur, tapi dengan catatan — semua ini rahasia. Jadi, jangan bilang-bilang. 
Jakarta, 26 Juni 1998
2. Hasil Analisis Latar dalam Cerpen Clara
Latar yang digunakan dalam cerpen ini terdiri dari tiga latar, yaitu latar tempat, latar waktu dan latar suasana.
a.       Latar tempat : di jalan tol dan di kantor polisi
1)      Di jalan tol
            “ Saya tancap gas. BMW melaju seperti terbang. Dikiri jalan terlihat api menerangi malam. Jalan tol itu sepi, BMW terbang sampai 120 kilometer per jam. Hanya dalam sepuluh menit saya akan segera tiba dirumah. Tapi, di ujung itu saya melihat segerombolan orang. Sukar sekali menghentikan mobil. Apakah saya harus menbraknya? Pejalan kaki tidak dibenarkan berdiri di tengah jalan tol, tapi saya tidak ingin menabraknya….”
2)      Di kantor polisi
“Dia menangis lagi. Tanpa air mata. Kemudian pingsan. Kudiamkan saja dia tergeletak dikursi. Ia hanya mengenakan kain. Seorang Ibu tua yang rumahnya berada di kampung di tepi jalan tol telah menolongnya. “Dia terkapar telanjang ditepi jalan,” kata ibu tua itu. Aku sudah melaporkan soal ini kepada pimpinanku. Lewat telepon dia berteriak, “Satu lagi! Hari ini banyak sekali perkara beginian. Tahan dia d isitu. Jangan sampai ada yang tahu. Terutama jangan sampai ketahuan wartawan dan LSM!” Pesuruh kantor membaukan PPO ke hidungnya. Matanya melek kembali.”
b.      Latar waktu: malam hari
“ Saya tancap gas. BMW melaju seperti terbang. Dikiri jalan terlihat api menerangi malam. Jalan tol itu sepi, BMW terbang sampai 120 kilometer per jam…”
“ …Waktu saya membuka mata saya, saya hanya melihat bintang-bintang. Ditengah semesta yang begini luas, siapa yang peduli kepada nasib saya? Saya masih terkapar di jalan tol. Angin malam yang basah tertiup membawa bau sangit…”
c.       Latar suasana
Banyak Sekali suasana yang di lukiskan dalam cerpen ini. Berikut akan di bahas mengenai suasana dalam cerpen ini.
1)      Api berkobar dimana-mana
“Api sudah berkobar dimana-mana ketika BMW saya melaju di jalan tol.”
2)      Tegang
      “Dia bilang kompleks perumahan sudah dikepung, rumah-rumah tetangga sudah dijarah dan dibakar. Papa, Mama, Monica, dan Shinta, adik-adikku, terjebak di dalam rumah dan tidak bisa kemana-mana.”
3)      Sepi
“ Jalan tol itu sepi, BMW terbang sampai 120 kilometer per jam. Hanya dalam sepuluh menit saya akan segera tiba di rumah.”
4)      Ketakutan
“ ‘Saya orang Indonesia,’ kata saya dengan gemetar.”
5)      Sedih
“ Wanita itu menangis. Mestinya aku terharu. Mestinya. Setidaknya aku bisa terharu kalau membaca roman picisan yag dijual di pinggir jalan.”
6)      Angin malam yang basah
” Angin malam yang basah bertiup membawa bau sangit. Saya menengok dan melihat BMW saya sudah terbakar.”


7)      Mengharukan
“ Luka hati saya, apakah harus saya bawa sampai mati? Siapakah kiranya yang akan membela kami? Benarkah kami dilahirkan hanya untk dibenci?”
8)      Duka
“ Tabahkalah hatimu Clara. Kedua adikmu, Monica dan Shinta, telah dilempar ke dalam api setelah diperkosa. Mama juga diperkosa, lantas bunuh diri, melompat dari lantai empat.”
9)      Kemarahan
      “ Di matanya kemarahan terpancar sekejap. Bahwa dia punya nyali untuk bercerita, memang menunjukkan dia wanita yang tegar.”














BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Cerita pendek adalah karangan nasihat yang bersifat fiktif yang menceritakan suatu peristiwa dalam kehidupan pelakunya yang relatif singkat tetapi padat.
Unsur yang membangun karya sastra adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik dalam karya sastra cerpen pada umumnya meliputi tema, tokoh dan penokohan, alur atau plot, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat.
Hasil analisis latar dalam cerpen Clara Wanita yang Diperkosa yaitu latar tempat, waktu dan suasana. Latar tempat ada di jalan tol dan di kantor polisi. Latar waktu pada malam hari. Latar suasana dalam cerpen api berkobar di mana-mana, tegang, sepi, ketakutan, sedih, angin malam yang basah, mengharukan, duka dan kemarahan.
B. Saran
            Analisis unsur intrinsik dalam sebuah cerpen memerlukan sebuah kejelian. Seorang analis dalam menganalisis sebuah karya sastra hendaknya dilakukan secara objektif sehingga hasilnya dapat dipertanggung jawabkan dengan baik.












Daftar Pustaka